JAKARTA (voa-islam.com) - Ada yang sangat menarik tentang perubahan Demokrat yang bergabung dengan koalisi Merah Putih dalam menetapkan pimpinan DPR. Di mana DPR secara mayoritas dikuasai oleh enam fraksi, yaiu Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP.
Menurut pengakuan salah satu pimpinan PDIP, Pramono Anung, saat diwawancarai oleh Metro TV, Kamis dini hari, mengatakan sebenarnya sudah ada usaha-usaha mempertemukan antara Mega dengan Presiden SBY.
Komunikasi sudah dilakukan oleh Jokowi, JK, dan termasuk Pramono Anung dengan Sudi Silalahi, mengusahakan bertemunya Ketua Umum PDIP, Megawati dengan Presiden SBY. Tapi, sampai tadi malam, menjelang pengambilan keputusan penetapan ketua DPR tidak terjadi. Mega ingin bertemu dengan SBY, tanpa ada ‘deal’ apapun, terlebih dahulu.
Nampaknya, hubungan antara Mega dengan Presiden SBY sudah patah arang, dan tidak bisa lagi dijembatani. Inilah yang mengakibatkan kegagalan yang dialami oleh PDIP mengusahakan perubahan koalisi yang diharapkan Demokrat bergabung dengan PDIP dan mendukung Jokowi, tapi semuanya tidak terjadi.
Seperti dikemukakan oleh Pramono Anung kepada Metro TV, hanya dua orang yang bisa mengubah keadaan,yaitu Mega dan Presiden SBY. Pertemuan antara kedua tokoh itu dianggap sebagai mukjijat. Tapi, lagi-lagi pertemuan antara Mega dan SBY, tidak terjadi.
Memang, sejak peristiwa sikap Demokrat yang melakukan ‘walk out’ saat mengambil keputusan UU Pilkada, yang memilih pemilihan langsung atau lewat DPRD, dimenangkan oleh koalisi Merah Putih, akibat tindakan Demokrat, yang tidak diprediksi melakukan ‘walk out’. Inilah yang membawa dampak lebih buruk hubungan Mega dan SBY.
Karena, sesudah aksi ‘walkout’ dan ditetapkan Pilkada melalui DPR, Presiden SBY yang saat itu masih berada di AS, dihujat, dicaci-maki, bahkan dikutuk sebagai pengkhianat, berkhianat terhadap demokrasi dan rakyat. Kampanye yang dilakukan kubu Mega, Jokowi dan PDIP, melalui media massa, media sosial secara masif, baik di dalam negeri, bahkan diluar negneri. Aksi demo yang mengutuk Presiden SBY berlangsung di AS, walaupun hanya diikuti 12 orang.
Tentu, lebih manyakitkan lagi, ada usaha-usaha balas dendam yang digalang oleh pendukung Jokowi, seperti Kompas, yang ingin menyeret putra kesayangan SBY, yaitu Ibas sebagai tersangka. Pada titik ini barangkali menjadi persoalan serius bagi SBY. Kampanye negatif dari kubu Mega, Jokowi dan PDIP, menggunakan media massa, dan media sosial, akhirnya semakin jauh hubungan Mega dan SBY.
Sepertinya, dalam waktu dekat ini, sulit akan mencair hubungan Mega dan SBY. Apalagi, sebelumnya, SBY didesak dengan keras oleh PDIP, agar menaikkan BBM. Padahal, Jokowi baru diputuskan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) kasusnya terkait sengketa pilpres.
Jadi banyak faktor yang menyebabkan hubungan antara Mega-SBY, tak terjembatani. Sekarang Mega, Jokowi dan PDIP menanggung sendiri akibatnya. Lima tahun ke depan akan penuh dengan gejolak dan berbagai konflik, bila tidak ada komunikasi yang baik antara Mega dan SBY. (dimas)