View Full Version
Kamis, 06 Nov 2014

Puncak Kekecewaan Kader-kader PDIP Terhadap Mega atau Jokowi?

JAKARTA (voa-islam.com) - Sepertinya tidak sesuai dengan skenario awal. Mereka menang pemilihan legislatif dan presiden, dan mereka berpikir otomatis negara ini direngkuh oleh kader-kader PDIP.

Kader-kader PDIP menggenggam kekuasaan. Bukan orang lain. Bukan orang-orang yang modalnya hanya dekat dengan Mega. Hanya kenyataannya lain. Justru kader PDIP tidak semua terakomodasi dalam kabinet Jokowi.

Kekecewaan kader PDIP bertambah saat  nama-nama anggota kabinet yang diumumkan Presdien Jokowi. PDIP sebagai partai pengusung dan pendukung Jokowi-JK hanya mendapat empat menteri yang berasal dari kader PDIP. Diantaranya, Puan Maharani, Tjahyo Kumolo, Yasonna Laoly dan AAGN Puspayoga.

Sedangkan Rini Soemarno dan Ryamizard Ryacudu tak dinilai kader PDIP, melainkan hanya orang dekat Megawati saja. Termasuk keempat kader PDIP yang masuk kabinet pun diyakini sebagai orang-orang dekat Megawati juga.

Sedangkan kader-kader PDIP, seperti Pramono Anung, Maruarar Sirait, Rieke Dyah Pitaloka, TB. Hasanudin, dan Eva Kusuma Sundari ternyata tidak masuk dalam ‘Kabinet Kerja’. PPP yang baru ‘nongol’ mendapatkan satu jatah “kursi’ menteri agama yaitu Lukman Hakim Saefudin. Kader-kader  PDIP merasa ditinggalkan dan tidak mendapatkan haknya secara adil.

PDIP yang jumlah kursinya di parlemen dua kali lipat dari PKB hanya mendapatkan empat kursi. Dibandingkan PKB nya Muhaimin Iskandar mendapatkan menteri jumlahnya sama dengan PDIP. Sedangkan mereka merasa yang menjadi penggerak Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Jika dilihat  secara proporsional, dari keempat belas menteri yang berasal dari parpol, mestinya PDIP mendapatkan tujuh menteri, PKB mendapatkan tiga menteri,  Nasdem dan Hanura mendapatkan dua menteri. Kenyataannya, PDIP hanya mendapatkan empat kursi,  PKB empat kursi, Nasdem mendapatkan dua kursi, Hanura mendapatkan jatah dua kursi dan PPP mendapatkan jatah 1.

Megawati atau Presiden Jokowi berbagi menteri dinilai merugikan PDIP, dan kemudian  mendapat kritikan keras dari internal partai seperti TB. Hasanudin, Rieke ‘Oneng’,  Effendi Simbolon dan Eva Kusuma Sundari secara terbuka. Bahkan mereka mengkritik kebijakan yang akan diambil oleh pemirintahan Jokowi soal kenaikan BBM, mereka kecam dengan sangat keras.

Rieke ‘Oneng’ menyatakan menentang keras rencana pemerintah Jokowi-JK menaikan BBM. Sedangkan Tubagus Hasanuddin dan Effendi Simbolon mengkritik sejumlah menteri, dan meminta KPK menjelaskan siapa-siapa menteri yang diberi ‘notice red’ itu. Ini akan menjadi masalah yang serius bagi Jokowi. Padahal, PDIP sebelumnya secara total memback up Jokowi-JK apapun keputusannya, termasuk kemungkinan menaikan BBM.

Indikasi ini menunjukan bahwa sejatinya aksi PDIP menggalang kekuatan KIH membentuk pimpinan DPR tandingan, bukan luapan kekecewaan terhadap KMP semata, tapi diarahkan terhadap Jokowi yang telah diusungnya. Mega dan Jokowi dianggap tidak tahu terimakasih dan balas budi terhadap jerih payah kader-kader PDIP.  PDIP merasa terhadap PKB yang mendapatkan jatah empat  menteri dari Jokowi.

DPR tandingan adalah bentuk protes keras para politisi PDIP kepada Megawati dan Presiden Jokowi yang mengabaika kader-kadernya. Megawati justru membaca lain apa yang dilakukan kader-kadernya itu. Megawati bukannya “menjewer” Jokowi malah ikut terbawa arus, bahwasanya tidak setuju tapi sejatinya mendukung pembentukan pimpinan DPR tandingan sebagai alat pressure agar pimpinan DPR yang resmi tidak berlaku semena-mena.

Terbelahnya DPR menjadi dua kubu versi resmi yang dikuasai KMP dan versi tandingan dari KIH akan bisa selesai jika Ketum PDIP Megawati tidak terbawa arus KIH di Senayan, melainkan berlegawa mau turun tangan menasihati anggota DPR dari PDIP untuk segera membubarkan pimpinan DPR tandingan, bukan malah sebaliknya memberikan dukungan kepada mereka.

Jika hal ini didiamkan, bahkan didukung, maka situasi di Senayan semakin hari semakin tidak kondusif.

Sejatinya, DPR tandingan sebagai bentuk frustasi politisi PDIP kekecewaan terhadap kabinet Jokowi yang kurang mengakomodir politisi PDIP. Protes kepada Ketum PDIP Megawati Soekarno Putri yang terkesan diam saja manakala PDIP “dianaktirikan” oleh Jokowi.

Tokoh kunci adalah Ketum PDIP Megawati Soekarno Putri, saatnya menunjukkan sikap kenegarawannya, dan membubarkan pimpinan DPR tandingan yang ilegal itu, bukan sebaliknya. Mungkinkah itu terjadi?  [jj/dbs/voa-islam.com]

 


latestnews

View Full Version