JAKARTA (voa-islam.com) - PDIP berusaha mengamankan kekuasaan Jokowi dengan mengusulkan revisi tambahan pada dua pasal dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang dianggap berpotensi membahayakan pemerintahan Joko Widodo.
Usul ini dicantumkan PDIP dalam syarat kesepakatan damai antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Namun belum disetujui oleh KMP.
Ketua DPR Setya Novanto menyatakan usulan revisi tambahan tersebut muncul dalam lobi politik KIH-KMP di kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
“Saat ini pimpinan DPR dan KMP sudah mempelajari usul terbaru KIH itu dan akan secepatnya kami putuskan,” kata Bendahara Umum Golkar itu di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Jakarta, Jumat (14/11).
Pasal-pasal yang dianggap PDIP mengancam sistem presidensial adalah Pasal 74 dan 98 UU MD3 yang mengatur tentang hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah, yakni Presiden dan menteri-menterinya.
Kedua pasal tersebut dinilai dapat membuat para menteri takut dalam mengambil keputusan penting. “Kedudukan menteri seharusnya kuat, bukan pegawai tinggi biasa. Menteri tidak bisa diturunkan DPR karena menteri adalah pemerintahan dalam pengertian sehari-hari. Itu amanat konstitusi,” ujar Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Untuk membahas syarat damai tambahan dari PDIP itu, malam nanti para ketua umum partai politik anggota KMP akan menggelar pertemuan di kediaman Ketua Umum PAN Hatta Rajasa. Elite KMP yang dijadwalkan hadir di rumah Hatta itu antara lain Ketua Umum Golkar dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.
Semula, pasal dalam UU MD3 yang hendak direvisi hanya terkait jumlah wakil ketua alat kelengkapan dewan dari tiga menjadi empat. Tambahan satu wakil itu untuk mengakomodasi keterwakilan KIH di masing-masing alat kelengkapan dewan.
Lobi KIH-KMP sudah berulang kali dilakukan. Setya menyatakan begitu KIH membentuk DPR tandingan, menggelar paripurna tandingan, dan menunjuk pimpinan DPR sementara –yang seluruhnya tidak ia akui, dia langsung bertemu dengan politikus senior PDIP Pramono Anung dari KIH.
Pram, sapaan akrab Pramono, dan perwakilan KMP selanjutnya bertemu secara intensif untuk mendamaikan kedua kubu. Pertemuan antara Aburizal dan Jokowi beberapa waktu lalu, ujar Setya, juga merupakan salah satu cara KIH dan KMP untuk mencari titik terang dalam menghadapi parlemen yang terbelah.
Namun, menurut Setya, pertemuan antara Jokowi dan Aburizal pun belum menghasilkan kesepahaman. Akhirnya Setya kembali menggelar lobi politik dengan Pram, wakil-wakilnya di pimpinan DPR, dan Sekjen Golkar Idrus Marham. Di situ muncul usul agar KIH diberi kursi wakil ketua di tiap alat kelengkapan dewan.
Itulah yang menjadi titik perdamaian kedua kubu. Sayangnya, menurut Setya, KIH kurang menyosialisasikan hasil lobi politik mereka ke pimpinan fraksi-fraksi KIH di parlemen. Setya pun menyebut Pram kurang koordinasi dengan para pimpinan partai anggota KIH. Akibatnya kesepakatan damai tertunda. Ini ditambah lagi dengan tambahan syarat dari PDIP.
Sebelumnya, Pram membantah KIH tidak solid terkait kesepakatan damai mereka dengan KMP. “Mereka semua (ketua fraksi, sekjen dan ketua umum partai KIH) menyepakati (solusi damai dan revisi UU MD3). Tidak ada satupun yang tidak sepakat,” kata dia.
Mantan wakil ketua DPR itu kemudian mengingatkan para legislator KIH untuk tak sembarangan bicara. “Saya sekaligus menegaskan untuk ketertiban, siapapun yang membuat statement lebih baik ditanyakan lebih dulu ke pimpinan partai masing-masing,” ujar Pram.
Mega dan PDIP masih berkutat ingin menyelamatkan Jokowi dari kemungkinan pemakzulan. Mungkin itu hanya paranoid dari kubu KIH melihat konstalasi politik di DPR, takut akan membahayakan kekuasaan Jokowi. [jj/dbs/voa-islam.com]