JAKARTA (voa-islam.com) - Mulai 18 November 2014, sejak jam 00.00, harga eceran BBM di seluruh Indonesia naik. Pengumuman kenaikan disampaikan pemerintah dan jajarannya. Ini “kado” pertama yang diberikan rezim Jokowi kepada rakyat Indonesia.
Dampak paling mematikan dari kenaikan harga BBM dirasakan oleh rakyat kecil. Berbagai kesuraman dan kepahitan sudah terpajang di depan mata, seperti misalnya: harga-harga kebutuhan pokok jadi naik, harga barang dan fasilitas naik, biaya transportasi naik, biaya jasa/sewa naik, bisnis-bisnis kecil dan menengah macet, perusahaan-perusahaan mem-PHK buruh/karyawan, produk pertanian semakin kalah bersaing, dan sebagainya.
Kalangan menengah atas, pengusaha kakap, para eksekutif tidak terlalu terkena dampak kenaikan BBM, karena penghasilan mereka besar. Malahan mereka bisa mengambil untung lumayan di balik kenaikan BBM. Dampak paling pahit dirasakan rakyat kecil, ekonomi lemah, kalangan UKM, petani, peternak, nelayan, usaha angkutan rakyat, dan sejenisnya.
Kiat menaikkan harga BBM selalu menjadi pilihan rezim-rezim “bahlul”. Sejak zaman Megawati, SBY, sampai Jokowi sekarang, kalau mereka kesulitan soal dana liquid (anggaran), caranya selalu menaikkan harga BBM, memperbesar utang, atau jual-jual aset negara. Mereka tak punya nyali untuk renegosiasi
dengan kreditor luar negeri untuk mengurangi hutang atau beban bunga; juga tak ada nyali untuk renegosiasi kontrak-kontrak eksploitasi SDA oleh perusahaan asing.
Rakyat kecil dan orang lemah yang terus jadi sasaran. Kalau ada masalah anggaran negara, rezim “bahlul” selalu jadikan rakyat sebagai korban kebijakan. Soal alasan omong kosong di balik kebijakan, itu bisa diatur dan sangat gampang. Rakyat Indonesia paling gampang ditipu dan dibodoh-bodohi, sejak dahulu sampai kini.
Negara Bisa Hancur
Kebijakan kenaikan harga BBM bisa mematikan daya saing kekuatan bisnis lokal. Untuk bertahan saja mereka harus mati-matian mengatur keuangan. Setelah stabil dan mulai berkembang, tiba-tiba BBM dinaikkan; menjadi pukulan sangat mematikan. Beribu usaha kecil dan menengah mati, di balik setiap kebijakan kenaikan BBM.
Kalau pebisnis lokal, UKM, mati berguguran, sesudah itu akan muncul usaha-usaha bisnis asing sebagai gantinya. Tadinya usaha itu dimiliki pebisnis lokal, pribumi, tapi setelah bangkrut –akibat kenaikan harga BBM- peluang usaha-usaha itu diambil tangan-tangan asing.
Asing bukan hanya membidik sumber daya alam, tapi juga berlomba membidik usaha-usaha bisnis yang dikelola orang lokal/pribumi. Biasanya, usaha lokal akan mati bertumbangan setelah kenaikan harga BBM. Saat itulah kesempatan bagus buat tangan-tangan asing untuk masuk ke pasar.
Pebisnis asing punya kekuatan modal, punya kualitas daya saing, punya keunggulan dari segi nilai kurs (mata uang). Selain itu, yang jauh lebih penting, di Indonesia mereka selalu diistimewakan oleh rezim yang tidak mencintai rakyatnya sendiri. Rezim berkuasa, sejak era Megawati, SBY, Jokowi selalu mendahulukan asing daripada rakyat sendiri.
Kondisi seperti ini, limbungnya kekuatan bisnis lokal, lalu diganti dengan merebaknya bisnis asing di mana-mana; semakin lama akan mematikan bangsa, akan menghancurkan negara. Alasannya, karena sumber-sumber perekonomian negeri semakin dikuasai asing, tidak disisakan buat rakyat lokal/pribumi.
Kalau semua sumber-sumber perekonomian dikuasai asing, tidak ada lagi makna kedaulatan, kemerdekaan, atau cita-cita nasional. Tak ada lagi. Semua jadi omong kosong dan aksesoris formalitas saja. Contoh paling mudah ialah penandatanganan LOI dengan IMF sejak tahun 1997.
Selama kerjasama dengan IMF ini, tanpa disadari 80 persen sumber-sumber ekonomi nasional berpindah ke tangan asing. Dari IMF pemerintah dapat pinjaman, tapi dengan gadaikan kedaulatan.
Kenaikan harga BBM juga ke sana arahnya, hanya berbeda caranya saja. Tujuan akhirnya berpindahnya sumber-sumber perekonomian ke tangan asing, tapi caranya dengan PELEMAHAN KEKUATAN EKONOMI lokal/pribumi melalui kenaikan harga BBM.
TNI-Polri Siap Mengamankan
Kebijakan rezim separah apapun, meskipun akibatnya menindas rakyat kecil, meskipun akibatnya merusak negara, mengancam keutuhan NKRI; para pejabat TNI-Polri tak peduli. Bagi mereka tugas paling utama ialah menjaga rezim, mendukung, mengamankan, melancarkan jalan, membersihkan penghalang-penghalang. Meskipun akibat kebijakan rezim itu mematikan rakyat dan negara sendiri.
Petinggi-petinggi TNI-Polri tak pernah galau soal masa depan negara, soal keselamatan rakyat, soal keutuhan NKRI. Yang penting TUGAS FORMAL mereka adalah menjaga rezim, titik. Apa yang mereka sebut “NKRI harga mati”, itu cuma omong kosong. Yang betul menurut mereka ialah “keselamatan penguasa adalah nomer satu”.
Omong kosong kalau TNI-Polri peduli dengan negara, manunggal dengan rakyat, menjaga keutuhan NKRI, semua itu cuma omong kosong saja. Mereka sudah tak punya harga, idealisme sudah mati.
Konsep Sapta Marga dan Bhayangkara hanya cuma untuk upacara saja. Kalau TNI-Polri memang pro NKRI, sejak 1998 mereka akan mengawal negara agar tak jatuh dalam system LIBERALISME. Tapi tak ada fakta itu, tak ada manfaat, tak ada pembelaan.
Coba saja perhatikan, setiap muncul suara kritis masyarakat/mahasiswa yang memprotes kebijakan negara yang kacau dan bahlul, posisi TNI-Polri selalu berada mengamankan rezim. Mereka tak rela
keselamatan rezim terancam, sebab itu mereka siap menghancurkan siapa saja yang menentang rezim, meskipun para penentang itu punya 1001 alasan yang benar. Meskipun para penentang lebih pro rakyat,lebih pro keadilan, lebih pro keselamatan negara, para petinggi TNI-Polri tak peduli. Buat mereka, jabatan dan kesejahteraan pribadi lebih utama daripada NKRI.
Menghadang Perubahan
Sudah puluhan kali rakyat Indonesia, mahasiswa, buruh, para demonstran menginginkan adanya PERUBAHAN kehidupan yang lebih baik. Mereka perjuangkan perubahan dengan mengkritisi kebijakan negara lewat demo-demo berkesinambungan. Tapi agenda perubahan ini selalu dan selalu saja digagalkan oleh TNI-Polri. Mereka terus berdiri di samping rezim dengan tak mempedulikan nasib rakyat, nasib negara, nasib NKRI.
Maka itu buat tokoh-tokoh mafia seperti Tomy Winata, Sofyan Wanandi, James Riyadi, Antoni Salim, dan semacamnya mereka tak peduli dengan seruan demo rakyat seperti apapun itu. Mereka hanya peduli dengan nama-nama pejabat tinggi TNI-Polri.
Kalau sudah keluar daftar nama pejabat TNI-Polri mereka akan sibuk melakukan “pencerahan” kepada para pejabat itu dengan mengirim paket-paket gratifikasi yang menggiurkan. Kalau tidak melalui gratifikasi, mereka melibatkan anak-anak atau familinya untuk bisnis dengan konglomerat-konglomerat hitam.
Sejak reformasi kita tak punya institusi penjaga negara yang komitmen kepada rakyat, negara, NKRI. Secara formal mereka komitmen, tapinya secara nyata nihil.
TNI-Polri sebagai instrumen negara yang menjaga kedaulatan dan kehidupan berbangsa-bernegara sudah tamat. Kebanyakan para petingginya concern menjaga nafsu para penguasa, sezalim apapun si penguasa. Tak perlu bermimpi ada perubahan, selama para penjaga negara hanya berlaku seperti “herder” yang disuruh-suruh oleh tuannya.
(Robin Mahesa).