View Full Version
Rabu, 19 Nov 2014

Kenaikan Harga BBM: Diam adalah Benar dan Selamat !

SOLO (Voa Islam) – Menyikapi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ditetapkan pemerintahan Jokowi, ternyata muncul berbagai ulasan dan sikap. Menariknya, ada juga yang memakai situasi di jaman Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam untuk diqiyaskan dengan situasi sekarang dimana kaum muslimin dicengkram kekuasaan rezim Anti Syari’at Islam. Wallohul Musta’an.

Para Asatidzah yang mengangkat qiyas diatas kemudian meminta kaum muslimin untuk bershabar (baca: berdiam diri), mencukupkan diri untuk merenung bahwa hal itu adalah bahagian kesalahan pribadi dan tidak boleh membicarakan apalagi menggelar protes di jalanan.

Bahkan sikap-sikap perlawanan terhadap kebijakan penaikkan harga BBM diidentikkan dengan sikap menolak dan membangkang terhadap taqdir Alloh Jalla wa ‘Alaa. Memprotes kenaikan harga BBM diancam sebagai amal yang pelakunya bisa disiksa dan dimasukkan neraka Jahannam, begitukah?

Dalam kajian teologisnya, nanti para pengkritis atau penolak harga BBM dimasukkan kedalam gologan penganut teologi menyimpang berupa tuduhan Mu’tazilah atau Khawarij.

Sedangkan mereka yang mencukupkan diri tenggelam dalam teori-teori keindahan dan keramah-tamahan Islam lalu berdiam dan menyibukkan diri dengan amal-amal ritual serta pasrah dengan doktrin trasendentalitas, akan di-judgement sebagai kelompok yang benar lagi mulia dan setia dengan jalannya para Salafus Sholeh!

Mereka –kelompok yang menyuruh kaum muslimin berdiam diri- lupa ada mazhab teologis yang juga menyimpang dan amat berbahaya bagi Islam dan kaum Muslimin, yakni mazhab Jabariyah atau Murjiah.

Dibawah ini adalah  jawaban Al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ (Komite Tetap Dewan Riset Ilmiyyah dan Fatwa) Kerajaan Arab Saudi tentang bahayanya paham Murjiah yang ternyata semarak berkembang di era modern ini.

Fatwa Lajnah Ad-Daa’imah no 21436 tanggal 8/4/1421 H

tentang

TAHDZIR AL LAJNAH AD DAA’IMAH TERHADAP BAHAYA PEMIKIRAN IRJA’

 

اَلْحَمْدُ ِللهِ وَحْدَهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مَنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ … أَمَّا بَعْدُ

Al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ (Komite Tetap Dewan Riset Ilmiyyah dan Fatwa) telah menelaah berbagai pertanyaan yang diterima oleh Mufti Umum dari para peminta fatwa, dan permintaan fatwa tersebut pun ditujukan pula kepada al-Amanah al-‘Ammah li Hay’ah Kibar al-‘Ulama’ (Sekretariat Jenderal Lembaga Ulama Senior) no. 5411 tanggal 7/11/1420 H, no. 1026 tanggal 7/2/1421 H, no. 1016 tanggal 7/2/1421 H, no. 1395 tanggal 8/3/1421 H, no. 1650 tanggal 17/3/1421 H, no. 1893 tanggal 25/3/1421 H, dan no. 2106 tanggal 7/4/1421 H. Para peminta fatwa mengajukan banyak pertanyaan, di antara isinya:

“Akhir-akhir ini merebak arus pemikiran Irja’ yang sangat mengkhawatirkan dan ternyata arus sesat ini dipopulerkan oleh banyak penulis kitab. Mereka mendasarkan paham sesat tersebut dengan memaparkan nukilan-nukilan yang tidak teratur dari pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,hingga menyebabkan banyak orang terjerumus dalam masalah iman.

Mereka menyebarkan pemikiran ini yang mengeluarkan amalan dari kategori iman dan mereka berpandangan bahwa orang yang meninggalkan seluruh amal perbuatan pun selamat. Hal ini membuat banyak orang meremehkan berbagai tindak kemunkaran, syirik dan perbuatan murtad, karena mereka meyakini bahwa diri mereka masih memiliki iman, walaupun mereka tidak melakukan perkara-perkara yang wajib, dan menjauhi perkara-perkara yang harom, dan walaupun mereka tidak mengamalkan syari’at-syari’at dalam Dien karena bersandar kepada paham irja’ tersebut.

Tidak diragukan lagi bahwa paham ini sangat berbahaya bagi ke-Islaman masyarakat, ‘aqidah dan amal ibadah mereka. Oleh karena itu, kami berharap agar para Syaikh yang mulia menjelaskan hakikat paham tersebut, dampak negatifnya, menyingkap kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan untuk menjelaskan kebenaran penukilan dari Syaikhul Islam, sehingga seorang muslim dapat meneliti jalan beragama di atas bashiroh.”

JAWABAN :

Setelah mengkaji fatwa-fatwa tersebut, maka al-Lajnah menjawab:

Pernyataan yang telah disebutkan di atas tiada lain adalah pernyataan Murji’ah yang mengeluarkan amal perbuatan dari iman. Mereka menyatakan bahwa iman hanya berupa tashdiq (pembenaran) di hati, atau tashdiq dengan hati dan perkataan dengan lisan saja, ada pun amal perbuatan bagi mereka (Murji’ah) hanya merupakan syarat kesempurnaan iman, bukan bagian dari iman itu sendiri.

Menurut mereka, orang yang membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisannya, maka ia adalah orang yang sempurna imannya, walaupun ia meninggalkan kewajiban dan mengerjakan hal yang haroom, dan ia pun berhak untuk masuk surga meski berlum pernah beramal kebajikan sekali pun. Keyakinan ini sangat menyesatkan sekali.

Dampak negatif dari kesesatan paham ini antara lain: membatasi kekufuran hanya pada kufur at-takdzib (kufur karena mendustakan) dan istihlal al-qalb (adanya penghalalan dalam hati). Tiada keraguan lagi bahwa ini adalah perkataan yang baathil dan kesesatan nyata yang jelas menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah serta menyelisihi Ahlus Sunnah, baik dari generasi salaf maupun kholafnya.

Paham ini juga membuka jalan bagi para pelaku kejahatan dan kerusakan untuk berpaling dari dien dan untuk meniadakan keterikatan dengan perintah dan larangan Alloh سبحانه وتعالى, serta takut dan khasyyah kepada Alloh.

Paham sesat ini juga meniadakan syari’at jihad fi sabilillah dan amar ma’ruf wa nahi munkar, menyamakan antara yang shoolih dengan yang thoolih (tidak shoolih), orang yang taat dengan orang yang bermaksiat, dan antara orang yang istiqomah di jalan Allah سبحانه وتعالىdengan orang fasiq yang ingin terbebas dari berbagai perintah dan larangan-Nya. Sepanjang bahwa amalan mereka tidak mempengaruhi iman, sebagaimana pandangan sesat mereka.

Oleh karena itu, para ulama Islam –sejak dahulu hingga sekarang— sangat gigih menjelaskan kebaathilan paham ini, membantah para penganutnya dan mereka membahas secara khusus masalah ini dalam kitab-kitab aqidah, seperti yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله dan para ulama lainnya.

Dalam al-‘Aqidah al-Washitiyyah, Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa dien dan iman adalah berupa perkataan dan perbuatan; yaitu perkataan hati dan lisan, serta amalan hati, lisan dan anggota badan, dan bahwa iman dapat bertambah karena ketaatan dan juga dapat berkurang karena kemaksiatan.”

Beliau berkata dalam Kitab al-Iman, “Di antara pembahasan bab ini adalah perkataan para salaf dan para Imaam ahlus sunnah dalam merinci masalah iman; sebagian mereka mengatakan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, sebagian lain mengatakan: perkataan, perbuatan, dan niat, sebagian lain mengatakan: perkataan, perbuatan, niat dan mengikuti as-Sunnah, dan sebagian lainnya mengatakan: perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amal perbuatan dengan anggota badan, dan semua perkataan ini benar adanya.”

Beliau juga berkata, “As-Salaf as-Shoolih amat keras dalam mengingkari Murji’ah karena mereka (Murji’ah) mengeluarkan amal dari iman, dan tidak diragukan lagi bahwa perkataan mereka dengan menyamakan iman manusia adalah kesalahan yang paling buruk, karena setiap manusia tidak akan sama dalam tashdiq, dalam kecintaan, dalam khasyyah, dan tidak pula dalam ilmunya, bahkan dari banyak segi masing-masingnya memiliki keunggulan tersendiri.”

Dan beliau juga berkata, “Sesungguhnya dalam masalah pokok ini (iman) golongan Murji’ah telah menyimpang dari penjelasan al-Kitab dan as-Sunnah serta dari perkataan para shohabat dan tabi’in. Mereka (Murji’ah) hanya bersandar pada pendapat mereka sendiri dan atas penakwilan mereka dalam memahami isi bahasa, dan ini adalah jalannya ahli bid’ah.”

Diantara dalil yang menunjukkan bahwa amal perbuatan termasuk hakikat iman dan sekaligus menunjukkan bahwa iman dapat bertambah dan berkurang adalah,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Alloh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Robb-lah mereka bertawakkul, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya…” (QS Al-Anfal: 2-4)

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS Al-Mukminun: 1-9)

Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Iman memiliki lebih dari 70 (tujuh puluh) cabang. Cabang tertinggi adalah ucapan Laa ilaaha illAlloh, yang terendah adalah menyingkirkan perkara yang melukai dari jalan, dan rasa malu termasuk cabang dari iman.” (HR Bukhary-Muslim)

Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata dalam Kitab al-Iman, “Asal iman ada dalam hati, berupa perkataan dan amal hati. Yaitu berupa pengikraran terhadap tashdiq, kecintaan, dan ketundukan. Apa yang ada dalam hati harus dibuktikan berbagai konsekuensinya dalam amal perbuatan anggota badan. Karena bila tidak dibuktikan, maka menunjukkan ketiadaan atau lemah iman dalam hati. Maka amal perbuatan yang zhahir merupakan konsekuensi iman dalam hati, yaitu sebagai tashdiq dan bukti terhadap apa yang ada dalam hati. Hal tersebut merupakan cabang keimanan yang bersifat mutlak dan sekaligus sebagai bagiannya.”

Beliau juga berkata, “Bahkan setiap orang yang menelaah perkataan Khawarij dan Murji’ah tentang makna iman, secara pasti akan mengetahui bahwa perkataan mereka tersebut menyelisihi Rosululloh, dan dia pun akan mengetahui pula bahwa taat kepada Alloh dan Rosuul-Nya merupakan kesempurnaan iman. Namun hal ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa setiap orang yang berdosa adalah kafir. Dan dia mengetahui bahwasanya jika suatu kaum ditakdirkan dapat berkata langsung kepada Nabi, ‘Kami beriman dengan hati kami terhadap apa yang engkau dakwahkan kepada kami, tanpa ragu sedikit pun dan lisan kami pun meyakininya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, namun kami tidak mau mentaati perintah dan laranganmu, maka kami tidak shalat, tidak berpuasa dan tidak berhaji, tidak membenarkan hadits, tidak menunaikan amanah, tidak mentaati perjanjian, tidak menyambung hubungan kekerabatan dan tidak melaksanakan sedikit pun apa yang engkau perintahkan, kami justru meminum khamer, menikahi wanita-wanita yang diharomkan bagi kami dengan berbuat zina secara terang-terangan, membunuh umatmu yang kami mampu untuk membunuhnya kemudian kami ambil hartanya, bahkan kami akan membunuhmu dan memerangimu bersama dengan musuh-musuhmu!’

Maka apakah masuk akal bila kemudian Nabi berkata kepada mereka, ‘Kalian adalah orang yang sempurna imannya, dan kalian berhak mendapat syafa’atku pada hari kiamat dan berharap untuk kalian agar tidak seorang pun dari kalian masuk neraka’

Bahkan, setiap muslim akan mengetahui dengan pasti bahwa Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam akan berkata kepada mereka, ‘Kalian adalah orang yang paling kafir dengan ajaranku!’, lalu Rosululloh akan memenggal leher mereka jika mereka tidak mau bertaubat dari perkataan tersebut.

Beliau juga berkata, “Maka jika lafazh iman disebutkan secara mutlak dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang dimaksud dengannya adalah sama dengan yang dimaksudkan dengan lafazh al-birr (kebaikan) atau lafazh at-taqwa atau lafazh ad-din sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sesungguhnya Nabi telah menjelaskan bahwa iman memiliki lebih dari 70 cabang, yang tertingi adalah ucapan Laa ilaaha illAlloh, yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, maka semua hal yang dicintai Alloh termasuk bagian dari iman. Lafazh al-birr pun demikian, bila disebutkan secara mutlak, maka semua hal tersebut termasuk bagiannya. Demikian pula halnya dengan lafazh at-taqwa dan ad-din. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa ketika para shohabat bertanya tentang iman, maka Alloh menurunkan firman-Nya, ‘Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya …’, maka didapati kesimpulan bahwa dalam ayat ini, pujian tidak diberikan kecuali bagi orang beriman yang beramal, bukan sekadar beriman namun tidak beramal.” Inilah inti perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, maka barang siapa yang memaparkan nukilan dari beliau namun tidak seperti itu, maka dia adalah seorang pendusta!

Adapun yang termaktub dalam hadits bahwa ada sebuah kaum yang masuk surga walau belum pernah beramal kebaikan sekali pun, maka secara umum hal ini tidak berlaku bagi orang yang meninggalkan amal ketika dia mampu mengerjakannya. Yang termaktub dalam hadits hanya berlaku secara khusus bagi orang-orang yang tidak dapat mengerjakan amal perbuatan karena terhalang oleh udzur (syar’i), atau bagi keadaan lainnya yang semakna yang sesuai dengan maksud-maksud syari’at.

Demikianlah keadaannya, dan setelah jelas hakikat yang sebenarnya bagi al-Lajnah ad-Daa’imah, maka al-Lajnah melarang dan memperingatkan terjadinya jidal (perdebatan) tentang ushul aqidah, karena hanya akan menimbulkan dampak negatif yang berbahaya, serta mewasiatkan kepada semua pihak untuk mengembalikan permasalahan tersebut kepada kitab-kitab as-salaf ash-shoolih dan para Imaam, yang berlandaskan al-Kitab, as-Sunnah, dan ucapan para salaf. Al-Lajnah memperingatkan keras dalam permasalahan ini agar tidak menyandarkannya kepada kitab-kitab yang menyelisihi manhaj salaf dan dari kitab-kitab kontemporer yang ditulis oleh orang-orang yang sok mengaku berilmu, dimana mereka mengambil ilmu bukan dari para ahli yang sebenarnya.

Permasalahan besar ini (iman) telah menjadi pembahasan hangat, namun dilandaskan kepada paham irja’ dan bahkan secara keji mereka menasabkan paham sesat tersebut kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah hingga menimbulkan kerancuan bagi banyak orang. Yang sangat memilukan, mereka justru menguatkan paham sesat ini dengan nukilan-nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله dan para ulama lainnya dengan nukilan yang tidak teratur (semrawut), hanya dicari yang mirip dengan paham mereka dan tidak mendasarkan kepada nukilan mereka yang sangat gamblang. Kami (al-Lajnah) menasihatkan kepada mereka untuk bertaqwa kepada Alloh dan untuk tidak mengacaukan barisan kaum Muslimin dengan paham sesat tersebut. Al-Lajnah pun memberi peringatan keras bagi kaum Muslimin agar tidak terbuai dan terperosok oleh tipu daya mereka (Murji’ah) yang menyelisihi jama’ah kaum Muslimin, Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Semoga Allah صلى الله عليه وسلم memberikan taufik kepada kita semua untuk mendapatkan ilmu yang bermanfat, amal shoolih dan fiqih pemahaman yang benar dalam dien.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Fatwa no. 21436 tanggal 8/4/1421 H

Al-Lajnah

Ketua:

‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Muhammad Alu asy-Syaikh

Anggota:

‘Abdullooh bin Ghudayyan

Shoolih bin Fauzaan Alu al-Fauzaan

Bakr bin ‘Abdullooh Abu Zaid

(Abu Fatih/Voa-Islam.com)


latestnews

View Full Version