JAKARTA (voa-islam.com) - Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada para menterinya untuk tidak menghadiri rapat dengar pendapat bersama DPR, bisa dikategorikan melanggar konstitusi. Peryataan Jokowi itu bisa dianggap melecehkan lembaga legeslatif sebagai lembaga yang sah.
"Pemerintah telah melecehkan dan merusak wibawa DPR. DPR adalah institusi yang sah, apakah itu memanggil, meminta keterangan, dan mengajukan pertanyaan, semua hak itu diatur dan dijamin di dalam konstitusi," ujar pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Pangi Syarwi Chaniago kepada VoA-Islam melalui pesan Blackberry, Selasa (25/11).
Menurut penilaiannya, ada kecenderungan Jokowi ingin memperkuat pemerintah (eksekutif heavy) seperti di era Orde Baru yaitu DPR itu hanya sekedar tukang stempel dan harus mengiyakan kemauan dan kehendak penguasa.
Pria yang akrab dipanggil Ipang ini menambahkan, jika pemerintah enggan menghadiri undangan dari DPR itu sama saja bunuh diri. "Bukankah negara ini dibangun atas landasan trias politika yang terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif," kata dia.
Instruksi Presiden, lanjut Ipang, bisa mengindikasikan keinginannya memperlemah DPR. Sikap ini sangat berbahaya terhadap perkembangan pembangunan demokrasi di negara ini.
Alasan Jokowi menunggu DPR solid dulu, menurut Ipang, respon Jokowi jauh dari logika politik dan logika demokrasi. Pasalnya KIH dan koalisi pendukung Prabowo (KMP) sudah bersepakat untuk tidak melanjutkan lelucon politik yaitu dengan membentuk DPR tandingan.
"Saya mulai merasakan Jokowi sudah menjadi bagian dari konflik, ingin DPR terus berkonflik dan terkesan menciptakan dan mengerakkanya lewat kaki tangan KIH, sehingga DPR lupa mengawasi program pemerintah akibat konflik," tutup Ipang. [PurWD/robiawan/voa-islam.com]