JAKARTA (voa-islam.com) - Minyak mentah di Nymex AS diperdagangkan pada level US$ 65,84 perbarel untuk pengiriman Januari 2015. Ini merupakan harga terendah sejak September 2009.
Sementara itu, harga minyak Brent di bursa ICE Futures London merosot 57 sen, atau 0,8 persen menjadi US$ 69,07 per barel. Harga susut 1,5 persen untuk minggu ini dan menjadi penutupan terendah sejak 7 Oktober 2009.
Penurunan harga minyak dunia yang terus terjadi diperkirakan masih akan berlanjut. Sebagai eksportir minyak terbesar di dunia, Arab Saudi berpotensi terkena hantaman terbesar dari anjloknya harga minyak global belakangan ini.
Mengacu pada data Economist Intelligence Unit, sejauh ini, Arab Saudi telah menyimpan cadangan minyak bernilai US$ 750 miliar.
Sementara mengutip CNBC, Sabtu (6/12/2014) tetangga Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab memiliki cadangan minyak bernilai US$ 100 miliar dan kebanyakan disimpan dalam bentuk dana kekayaan asing.
Tapi ketiga negara tersebut juga sangat bergantung pada produksi minyak untuk mendanai subsidi pemerintah dan investasi infrastruktur.
Dana yang dibutuhkan jauh lebih tinggi dari dana tunai yang dihasilnya minyak mentah seharga US$ 70 per barel. Jadi era penurunan harga minyak dapat membuat ketiga negara penghasil minyak tersebut menanggung kerugian besar.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara net importir minyak, Indonesia menikmati keuntungan dari penurunan harga minyak. Namun pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsy punya pendapat tersendiri tentang hal tersebut.
“Dengan impor minyak dari Angola (Sonangol) harga minyak kita akan tetap tinggi, walaupun katanya ada diskon US$ 15 perbarel.”
Lebih lanjut Noorsy mengatakan, “Angola akan keberatan dengan posisi diskon US$ 15 per barel. Pasalnya, biaya pokok produksi minyak sendiri di atas US$ 90-an. Angola pasti tidak memberikan diskon US$ 15 karena itu besar sekali,” ujar dia di Jakarta, Sabtu (6/12/2014).
Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, dengan kondisi harga minyak yang mengalami kemerosotan seharusnya bisa membuat pemerintah melakukan penurunan harga BBM bersubsidi.
“Saya kira pemerintah harus menurunkan,” kata Marwan saat berbincang dengan sharia.co.id, di Jakarta, seperti yang dikutip Minggu, (7/12/2014).
Namun memang, Marwan menjelaskan, penurunan harga BBM bersubsidi bisa dilakukan jika harga keekonomian BBM subsidi posisinya berada di bawah harga BBM bersubsidi.
“Tergantung pada berapa subsidi yang diberikan, kalau rendah otomatis harus turun, kalau tinggi berapa yang disubsidi APBN,” ungkapnya.
Marwan melanjutkan, fenomena penurunan harga minyak tersebut hanya berlangsung sementara. Ia memperkirakan harga minyak akan kembali ke posisi normal. Pasalnya penurunan harga minyak merupakan strategi persaingan Arab Saudi.
“Itu kondisi bisa berubah bisa naik lagi bisa dikatakan rendahnya tidak bertahan lama biaya produksi tinggi kalau nanti dipertahankan di bawah US$ 70 per barel itu siapa yang tahan lama rugi, paling di Saudi siap US$ 60 per barel itu dalam rangka bersaing dengan Shell Oil Amerika Serikat,” pungkasnya. [azzam/sharia]