JAKARTA (voa-islam.com) - Seperti tak pernah berujung penderitaan kaum buruh. Selamanya mereka hanyalah menjadi alat produksi bagi para pemilik modal. Tidak pernah berubah. Perjuangan mereka tak pernah bisa mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan.
Sekarang, mereka mempertaruhkan hidup mereka, ungkap salah satu pekerja pabrik keramik di Cikarang, Bekasi, Sunarto, dalam keikutsertaannya pada demo buruh hari ini barangkali juga dirasakan oleh ribuan buruh lainnya.
Mereka mempertaruhkan pekerjaan yang selama ini menjadi penanggung kebutuhan hidup keluarga. Pria berumur 40 tahunan ini mengaku sudah siap jika harus menerima surat pemecatan dari tempat dia bekerja sepulangnya dari demo, nanti.
"Kita ikut seperti ini taruhannya dipecat, lho," ujar Sunarto kepada CNN Indonesia di sela unjuk rasa di sepanjang Jalan MH Thamrin, Rabu (10/12). Dia menceritakan, banyak perusahaan yang mengancam akan memutus kontrak, jika pekerja mereka turun ke jalan untuk berpartisipasi dalam demonstrasi hari ini.
"Di Karawang itu ada 600 orang yang sudah siap dipecat," ungkapnya. Kendati demikian, buruh di perusahaan keramik PT Mulia Keramik Cikarang ini tak urung mengikuti demonstrasi demi kesejahteraan dan solidaritas buruh.
Mengenai tuntutan kenaikan Upah Minimum Provinsi yang diminta oleh para serikat pekerja, Sunarto menceritakan, permintaan tersebut dilakukan dengan alasan yang sama. Dia menyebut, upah bulanan yang diterimanya saat ini tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Menurutnya, gaji Rp. 2.8 juta sudah tak bisa mencukupi keperluan dua anak dan istrinya.
"Bayangin aja. Gaji Rp 2,8 juta harus bayar semua. Anak kelas 1 SMP dan 2 SD. Bonus cuma ada akhir tahun. Itu juga hanya setengah gaji. Kami maunya bonus satu kali gaji. Apalagi sekarang BBM naik," ujar Sunarto sambil mengikuti massa yang bergerak ke Istana Negara.
Gaji itu, diakui Sunarto, juga selalu langsung menguap tak tersisa di awal bulan. Tambal sulam gaji demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, dikatakannya, sudah jadi hal yang lumrah bagi buruh seperti dia. "Gaji segitu enggak bakal cukup. Belum nyicil rumah. Enggak mungkin ngontrak terus, kan? Otomatis kita pinjem ke koperasi perusahaan. Potong gaji tiap bulan. Habis sudah. Terus, ngutang lagi," ujar Anggota Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) ini.
Buruh yang telah mengabdi sejak 1998 ini juga mengungkapkan keprihatinannya saat mendengar selentingan rencana pemerintah untuk mengubah regulasi kenaikan upah dari satu tahun sekali menjadi dua tahun sekali. "Kami tolak itu. Ya, begini saja sudah susah," tukasnya.
Dia juga beranggapan upah tersebut tak sebanding dengan risiko kerja di lapangan. Sebagai buruh pembuat keramik, Sunarto mengaku sudah biasa menghadapi bahaya luka terkena alat atau pecahan keramik. "Di kantor hanya ada klinik kecil. Paling cuma buat luka-luka luar kecil," terangnya.
Masalah yang harus dihadapinya pun semakin menganga ketika bantuan dari pemerintah juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. "Ada sih BPJS, tapi sulit dipake. Ada saja alesannya di rumah sakit. Susah. Banyak juga buruh yang belum dapat," katanya.
Meski mempunyai sederet alasan atas turunnya dia ke jalanan Ibu Kota hari ini, namun pria kelahiran Madiun ini mengaku mengikuti demonstrasi ini demi solidaritas. "Kasihan anak-anak muda kalau kaya saya nanti," ujarnya.
Dia menegaskan, Sunarto tak takut dipecat jika perusahaan tempat dia bekerja mengetahui bahwa dia ikut dalam aksi turun ke jalan. "Kalau dipecat, ya saya dapat 2 kali PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja). Itu setara dengan sembilan kali gaji. Kalau dapat itu, saya mau ke Padang saja, ke tempat istri untuk bikin tambak ikan," kata Sunarto.
Sampai kapan mereka akan mampu bertahan hidup menghadapi penindasan dan perbudakan para majikan dan pemilik modal yang terus menindas mereka. Perjuangan mereka adalah sebuah keniscayaan menghadapi para pemilik modal yang menindas mereka. [dimas/dbs/voa-islam.com]