Jakarta (voa-islam.com) - Dunia seakan jungkir balik begitu mendengar putusan hakim atas terdakwa kasus dugaan pelecehan seksual terhadap murid TK Jakarta International di pengadilan negeri Jakarta Selatan, Senin (22/12) kemarin. Syahrial, Zainal, Virgiawan Amin dan Agun Iskandar dinyatakan bersalah dan dituntut hukuman 8 tahun penjara, dan dengan Rp 100 juta, subsider 3 bulan penjara, dan Afrischa dituntut 7 tahun penjara, denda Rp 100 juta, subsider 3 bulan penjara.
Betapa tidak, fakta-fakta dan bukti-bukti di persidangan baik itu bukti rekaman medis korban yang berinisial MAK, maupun kesaksian para ahli yang dihadirkan baik oleh pihak korban maupun terdakwa, semuanya menunjukkan bahwa sodomi itu tidak ada. Bahkan anuscopy korban pun dinyatakan mulus, tidak lecet, baik-baik saja. Namun hakim rupanya tidak mempertimbangkan hal tersebut. Hakim hanya mempertimbangkan pernyataan korban MAK yang berusia 6 tahun, padahal tindakan tersebut tidak ada yang mengetahui.
Selain itu, hakim juga menafikan adanya fakta bahwa para terdakwa mengalami intimidasi saat dalam penyidikan pihak kepolisian. Bahkan salah satu di antara mereka, Azwar, meninggal dunia. Meski pihakkepolisian menyatakan Azwar bunuh diri, namun bukti fisik jenazah Azwar tidak menunjukkan bahwa Azwar bunuh diri, melainkan kondisi fisiknya sudah babak belur, dan mengeluarkan darah. Itu mendandakan bahwa Azwar mati tidak sewajarnya. Ia tewas karena tidak sanggup menahan siksa dari penyidik.
Yang lebih memprihatinkan lagi, saat dalam penyidikan kepolisian, keenam petugas kebersihan yang diduga melakukan pencabulan ini tidak didampingi kuasa hukum atau pengacara. Mereka sendirian!
Bisa dibayangkan, mereka adalah rakyat kecil, buta akan hukum, tidak pernah berurusan dengan kepolisian juga pengadilan, tiba-tiba dihadapkan pada satu instansi atau lembaga yang sangat berkuasa, mungkin lebih berkuasa dari Tuhan, polisi, kemudian menindas mereka, menyiksa mereka untuk mengakui satu perbuatan keji yang tidak pernah mereka lakukan, dan tak ada satu pengacara pun yang mendampingi mereka. Sekali lagi, saat itu mereka sendiri! Kemana mereka harus mencari keadilan? Kalau pun mereka tahu harus menyewa seoarng pengacara, maka dari mana mereka harus membayar pengacara tersebut, karena gaji mereka dalam sebula paling banyak Rp 900 ribu.
Sungguh keterlaluan para penegak hukum di negeri ini! Mereka orang kecil, saat dihadapkan pada situasi seperti ini, mereka tak tahu harus berbuat apa. Dan tak satu orang pun yang ketika menciduk mereka menjelaskan bahwa mereka berhak didampingi seorang pengacara!
Berbagai bukti akan kejanggalan kasus ini dengan sendirinya terkuak di persidangan. Namun rupanya tidak menjadi bahan pertimbangan hakim. Mungkin mata hakim sudah dibutakan oleh sesuatu yang tak “kasat mata”.
Yang lebih memuakkan lagi adalah sikap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dengan arogan mereka tampil di hadapan media massa dan mengatakan bahwa para terdakwa itu pantas menerima hukuman tersebut.
Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh dalam siaran persnya mengatakan, Putusan hakim tersebut didasarkan pada fakta-fakta persidangan. Putusan ini mengonfirmasi kebenaran adanya sindikat kejahatan seksual di JIS. Kejahatan seksual sodomi benar terjadi, korban tidak hanya satu, dan pelaku tidak sendiri.
Perlu diketahui, sebagaimana dikatakan oleh Patra M. Zen dalam interviewnya dengan TV One pada Senin malam, yang juga menghadirkan Sekjen KPAI Erlinda, bahwa KPAI tidak di setiap persidangan hadir. Sebab, fakta-fakta di persidangan menjelaskan bahwa sodomi itu tidak terjadi.
Masih dalam siaran persnya, Asrorun Niam mengatakan, bahwa dalam perspektif perlindungan anak, KPAI tentu berharap agar ada hukuman maksimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, agar ada efek jera.
Yang diharapkan KPAI itu tentu saja menjadi harapan semua orang. Bahwa setiap “Predator” yang memangsa anak-anak harus diberi hukuman yang maksimal, karena itu adalah perbuatan yang keji. Namun juga ingat, yang menjadi harapan semua orang adalah, kebenaran harus diungkapkan, keadilan harus ditegakkan. Jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah, karena itu perbuatan yang lebih keji lagi.
Putusan bersalah yang dijatuhkan kepada para terdakwa kasus JIS ini menunjukkan, hukum hanya keras terhadap orang lemah. Penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Masyarakat seperti mendapatkan gambaran bahwa para penegak hukum, tidak pernah memberikan keadilan kepada mereka.
Hukum di negeri ini justru menjadi sumber dari ketidakdilan. Karena hampir semua perangkat hukum memihak pada kekuasaan dan uang, bukan memihak pada kebenaran dan keadilan. Keadilan ditentukan oleh permainan kepentingan, kekuasaan, jabatan, dan uang. Rasa keadilan bagi rakyat kecil di negeri ini sudah mati! (may/voa-islam.com)