JAKARTA (voa-islam.com) - Sebagai catatan akhir tahun 2014, Energy Watch Indonesia (EWI) melalui Direktur Eksekutifnya Ferdinand Hutahaean memberikan catatan negatif terkait kebijakan pemerintah di sektor energi.
Menurut EWI, sekitar dua bulan yang lalu pemerintah baru menaikkan harga BBM dengan kemasan bahasa pengalihan subsidi sebesar Rp.2000/ltr terhadap Premium 88 dan Solar.
Kebijakan ini bagi sebagian pihak dipandang terburu buru dan tidak layak dilaksanakan karena harga minyak dunia sedang turun, namun bagi sebagian pihak juga kebijakan menaikkan harga BBM itu didukung dengan alasan karena yang menikmati subsidi adalah orang kaya dan lain sebagainya.
Sebagai akibat kebijakan tersebut juga nyawa mahasiswa di Makasar harus hilang karena demo menuntut penolakan kenaikan harga BBM. Kebijakan kontroversial tersebut akhirnya diterima rakyat saat ini dengan menaruh harapan besar pada pemerintah bahwa janjinya tidak sekedar janji kesejahteraan belaka.
Setelah kenaikan harga BBM tersebut, harga minyak dunia terus turun dengan tajamnya hingga menyentuh level USD 57/barel. Sungguh ini membuat pemerintah bingung dengan kebijakannya yang sudah terlanjur menaikkan harga BBM yang menurut kami tidak dikaji dengan cermat dan matang oleh tim kementerian bidang perekonomian khususnya mentri ESDM Sudirman Said yang mendapat suntikan semangat dari Wakil Presiden Jusuf Kalla waktu itu.
Kebijakan kenaikan harga tersebut, kembali akan dievaluasi akhir tahun ini yang kemungkinan katanya akan menurunkan harga BBM dengan model subsidi baru secara flat. Pemerintah kemungkinan akan mensubsidi bbm secara flat sebesar Rp.1000/ltr.
Model subsidi flat ini memang akan memberikan kenyamanan bagi pemerintah untuk mengelola APBN tapi menempatkan rakyat pada mekanisme pasar terhadap harga BBM. Sehingga rakyat harus selalu siap dengan fluktuasi naik turunnya harga minyak dunia, yang tentu naik turunnya harga minyak dunia akan berpengaruh terhadap fluktuasi harga bahan pokok dipasar.
Kemudian adalah yang sangat penting dari pemerintah adalah, pemerintah harus membuka ke publik secara jujur tentang harga keekonomian BBM, sehingga masyarakat tahu berapa sesungguhnya harga BBM yang pantas ditetapkan olh pemerintah.
Supaya angka subsidi yang dimasukkan dalam APBN tidak menjadi angka siluman yang jadi lahan jarahan bagi para mafia. Kami menuntut Tim RTKM agar merekomendasikan kepada pemerintah untuk membuka komponen-komponen untuk menetapkan harga keekonomian BBM, atau jika mungkin tim ini membuat sendiri hitungan harga keekonomian bbm yang menjadi acuan bagi pemerintah, supaya tim ini berguna bagi publik.
Kemudian adalah terkait rekomendasi tim RTKM yang diketuai Faisal Basri yang meminta penghapusan premium RON 88, ini mau diapakan? Pemerintah harus jelas supaya tidak terjadi spekulasi di pasar.
Sebagai catatan terakhir EWI menyarankan pada pemerintah agar tidak terburu-buru mengevaluasi harga BBM, sebaiknya dikaji dulu secara matang, terlebih harga BBM sekarang sudah diterima rakyat, mungkin lebih baik harga yang ada sekarang dipertahankan, dengan catatan bahwa subsidi BBM sudah Nol dan tidak ada lagi, dan keuntungan yang didapat pemerintah dialokasikan untuk bangun kilang minyak dan membangun infrastruktur bahan bakar Gas.
Sehingga salam 5 tahun kita sudah merobah tata niaga dan pola konsumsi bbm kita tidak semata mengandalkan bbm fosil, tetapi gabungan dari bbm fosil dan gas. Ini akan menekan angka impor minyak dengan sangat besar bahkan hingga zero impor. Dan bangsa akan berhemat banyak uang dan punya cukup uang untuk mensejahterakan rakyat dari sektor migas.
Sekali lagi EWI meminta kepada kementerian bidang perekonomian secara khusus menteri ESDM, agar tidak mengusulkan kebijakan sporadis tidak terencana dengan baik kepada Presiden. Nawa cita Jokowi dan Trisakti Bung Karno arahnya jelas adalah berdaulat dan mandiri, inilah yang harus dimengerti menteri-menteri kabinet kerja agar kebijakannya tidak serampangan, sporadis tanpa kajian matang. [waw/geoenergi.co]