Jakarta (voa-islam.com) - Lagi! Umat Islam Indonesia kembali kecolongan! Kali ini soal film yang mengangkat kisah tentang seorang nabi yang diakui oleh tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi. Yaitu Nabi Musa. Film ini berjudul Exodus: Gods and Kings. Pemerintah Mesir, Maroko dan Uni Emirate Arab (UEA) dengan tegas melarang film ini beredar di negeri mereka. Namun di Indonesia, sejak akhir Desember lalu, hingga sekarang masih tayang di bioskop-bioskop.
Menteri Kebudayaan Mesir Gaber Asfour, mengatakan, film itu tidak sesuai dengan fakta sejarah. "Film ini benar-benar bertentangan dengan fakta sejarah," katanya seperti dilansir oleh onislam.net, akhir Desember lalu. Keputusan pelarangan ini diputuskan dalam rapat yang dihadiri oleh Ketua Dewan Tinggi Kebudayaan Mesir, Syaikh Mohammad Afifi.
Gaber Asfour yang juga Ketua Badan Sensor Mesir ini juga mengkritik film yang memperlihatkan Nabi Musa AS memegang pedang, bukan tongkat. Dia juga mempertanyakan adegan terbelahnya Laut Merah dalam film tersebut yang disebabkan oleh fenomena pasang surut, alias bencana alam, bukan karena mukjizat dari Allah.
"Ini adalah film dengan sudut pandang zionis. Hal ini memberikan pandangan sejarah dari para zionis yang menyebabkan ketidakakuratan dari kisah sebenarnya, dan untuk itulah kami lebih memilih melarangnya beredar di Mesir," lanjutnya.
Beberapa adegan dalam film ini juga dianggap melecehkan, termasuk adegan yang menunjukkan Allah dalam bentuk seorang anak yang memberikan wahyu kepada Nabi Musa.
Para ulama menentang penggambaran para nabi dalam bentuk apapun dalam seni. Dalam Islam, Nabi Musa AS dicintai dan dihormati; Musa adalah nabi dan juga rasul.
Allah menyebutkan beliau lebih dari 120 kali dan kisahnya diceritakan di beberapa ayat. Kisah Nabi Musa AS merupakan kisah terpanjang dan paling rinci dari seorang nabi dalam Al-Quran.
Selain Mesir, pemerintah Maroko juga melarangnya, disusul oleh pemerintah UEA. Menurut Dewan Film UEA, film ini banyak mengandung ketidakakuratan sejarah asli yang dikisahkan agama. "Film ini dalam pengamatan kami dan kami menemukan banyak kesalahan. Jadi kami tidak akan merilis film ini di UEA," ujar Direktur Pemantau Isi Media UEA, Juma Obeid Al Leem.
Bila pemerintah ketiga negara itu, melalui badan sensor film masing-masing, melarang film tersebut beredar, mengapa pemerintah Indonesia, melalui badan sensor film-nya, justru meloloskan film ini. Padahal mayoritas penontonnya adalah muslim. Mengapa bisa begitu? (may/voa-islam.com)