JAKARTA (voa-islam.com) - Nasib umat Islam kian terpuruk. Hina. Selalu menjadi pecundang. Tak pernah mendapatkan posisi politik yang tepat. Selalu hanya menjadi ‘bemper’ atau ‘pendorong mobil’ mogok.
Umat Islam pernah menunjukan posisi yang mulia dibawah Masyumi. Karena tokoh-tokohnya hidup dengan zuhud dan wara’. Tidak ‘hubud dunya’, seperti sekarang ini. Padahal, para pemimpin Masyumi itu, kebanyakan mereka lulusan sekolah Belanda.
Para pemimpin Masyumi yang di pimpin almarhum Mohammad Natsir, berjuang di Konstituante (parlemen) memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dan secara tegas dalam pidatonya di Konstituante Natsir mengatakan bahwa Pancasila itu ideologi ‘la diniyah’ (sekuler).
Kafir musyrik (Yahudi dan Nasrani) sangat faham cara mengalahkan para pemimpin Islam, hanya dengan cara ‘tiga t’,yaitu tahta, harta dan wanita. Dengan strategis ‘tiga t’ itu, persatuan umat Islam luluh lantak, agamanya ditinggalkan dan ditukar dengan kehidupan dunia.
Sekarang para pemimpin Islam isinya hanya cakar-cakaran memperebutkan kekuasaan, bukannya kekuasaan digunakan dalam menegakkan agama Allah, al-Islam, tapi digunakan mencari kenikmatan dunia, berupa materi. Inilah yang menyebabkan mereka terus cakar-cakaran, dan bertekuk lutut dihadapan orang kafir.
Sekarang, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin menggalang tokoh-tokoh Islam, menyelenggarakan Kongres Umat Islam (KUI). Din mengatakan pemilihan Yogyakarta sebagai lokasi Kongres Umat Islam VI tak lepas dari sejarah Kongres II yang dinilai paling monumental.
"Karena pernah menjadi tuan rumah kongres yang monumental pada 1945," katanya dalam pidato pembukaan di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin, 9 Februari 2015.
Di Yogyakarta pernah berlangsung Kongres Umat Islam pertama, yang melahirkan ‘Ikrar 7 Nopember’ l945. Di mana dalam Ikrar itu, menyatakan, bahwa Partai Masyumi merupakan wadah politik satu-satunya bagi umat Islam. HMI (Himpunan Mahasiswa) sebagai satu-satunya wadah b agi mahasiswa Islam, GPI (Gerakan Pemuda Islam) sebagai satu-satunya wadah bagi pemuda Islam, dan PII (pelajar Islam Indonesia), sebagai satu-satunya wadah bagi pelajar Islam. Itulah hasil ‘Ikrar 7 Nopember’’.
Lalu Apa yang akan dilakukan oleh Din Syamsuddin selaku penyelenggara KUI itu? Adakah Din dan tokoh-tokoh Islam yang hadir di Yogyakarta dapat menyatukan visi dan misi menghadapi hari depan mereka. Sebalikknya, KUI di Yogyakarta hanya menjadi romantisme sejarah? (mashadi/dbs/voa-islam.com)