JAKARTA (voa-islam.com) - Apa yang tidak palsu di Indonesia? Semuanya serba palsu. Maka tak aneh kehidupan yang ada penuh dengan kepalsuan. Rakyat lah yang pertama-tama menjadi korban kepalsuan. Karena dasarnya sudah tidak ada lagi kejujuran. Prinsip hidup yang dijalankan menghalalkan segala cara guna mencapai tujuan.
Lihat dalam kehidupan sehari-hari. Beras dioplos. Diberi pemutih. Supaya kelihatan bersih dan harganya menjadi mahal. Jadinya beras palsu. Bahkan, lebih menakutkan lagi, ada beras dari ‘plastik’, sengaja diedarkan dan dijual. Tujuannya ingin mendapatkan keuntungan. Tidak ada lagi kejujuran.
Daging sapi dioplos dengan daging celeng. Bagi orang yang tidak teliti. Pasti akan kesulitan menentukan mana daging sapi dan mana daging celeng di pasar. Hampir mirip. Rakyat yang tidak mengerti pasti akan membeli daging, yang nyatanya daging sapi-celeng. Tujuannya ingin mendapatkan keuntungan. Tidak ada lagi kejujuran.
Makanan. Bakso dicampur dengan daging tikus, dan ada juga daging ikan sabu-sabu. Karena harga daging sapi mahal. Maka ada yang nekat pedagang bakso mengoplos baksonya dengan daging tikus. Siapa yang tahu kalau bakso yang dimakannya itu, oplosan daging tikus atau ikan sabu-sabu? Tujuannya ingin mendapatkan keuntungan. Tidak ada lagi kejujuran.
Berbagai jenis makanan sudah tidak terhitung yang dicampur dengan borak. Supaya awet dan kenyal. Tahu diberi borak. Supaya awet dan kenyal. Tidak pernah ada tukang tahu yang mengaku, bahwa tahunya dibuat dengan campuran borak. Dijual di pasar. Dibeli oleh rakyat.
Ikan-ikan yang kering. Tidak ada yang tidak menggungkan formalin. Makanan siap saji, banyak diantaranya yang menggunakan pengawet dan pewarna. Tapi tidak ada satupun yang mengaku dagangannya menggunakan pengawet dan pewarna.
Maka semakin susah hidup di negara ini, mencarai sesuatu barang yang tidak palsu. Makanan krecekpun yang dibuat dari kulit, kulitnya pun sudah diberi formalin. Berapa ton setiap harinya rakyat makan krecek?
Sekarang ramai tentang ijazah palsu. Banyak pegawai negeri yang menggunakan ijazah palsu. Pejabat menggunakan ijazah palsu. Pokoknya serba palsu. Tidak ada kejujuran.
Istri palsu. Suami palsu. Di rumah kelihatan mesra dan mencintai istrinya, tapi diluar ternyata memiliki simpanan. Istri yang di rumah kelihatan sayang kepada anak-anaknya, ternyata sering menginap di hotel dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.
Ada juga pemimpin partai palsu dan partai palsu. Pemimpin palsu sengaja diproduk pemerintah. Kemudian mendudukan pemimpin partai yang palsu. Tujuannya membuat partai yang menjadi lawan poliitiknya lumpuh. Tidak dapat lagi bergerak. Menganggu pemerintah palsu. Sengaja.
Hebatnya, ada pemimpin yang mengkritik keras calon pemimpin, yang bakal maju menjadi presiden, dengan kata-kata yang vulgar, dan sangat ekspresif. Tapi, si pengkritik itu, mau menjadi wakilnya. Bukannya si pengkritik lebih jahat dibanding dengan calon pemimpin itu. Ini tipologi pemimpini palsu.
Jadi rakyat diberi tontonan partai palsu dan pemimpin. Dengan episode yang menghiasai media terus-menerus. Aktor pemimpin palsu dan partai palsu sekarang ini laku keras. Intinya sudah tidak ada lagi kejujuran.
Bahkan, sekarang ada media-media palsu yang tujuannya bukan mengungkapkan kebenaran sebuah peristiwa. Tapi media palsu menjadi alat kekuasaan. Sengaja membuat opini busuk dan menyesatkan. Itulah tugas media palsu.
Tentu, yang paling getir bagi rakyat dan bangsa, jika dipimpin oleh pemimpinn palsu, produk dari rekayasa. Rakyat direkayasa dengan opini melalui berbagai media massa, dan media sosial tentang sosok calon pemimpin. Akhirnya, rakyat memilih pemimpin produk rekayasa, dan sesudah menjadi pemimpin yang hanya bisa ‘cengar-cengir’. Sedih.
Waktu sebelum menjadi pemimpin mengobral janji kepada rakyat. Dengan janji mensejahterakan rakyat dan adil. Hidup sederhana. Tidak menipu rakyat. Meletakkan kepentingan rakyat diatas segalanya. Membela kepentingan bangsa dan negara.
Anehnya sesudah menjadi pemimpin tidak lagi ingat janjinya. Justru menjadi pembela kepentingan asing, dan melupakan rakyat. Lupa janjinya. Janji palsu. Tidak ada sedikitpun kejujuran.
Last but not least. Ada kiai juga yang merangkap menjadi dukun politik. Dukun palsu. Menipu banyak umat. Pekerjaannya mengumpulkan umat. Kemudian, umatnya dijual kepada pemimpin palsu, ditukar dengan uang. Selamat menikmati hidup di negeri palsu yang penuh kepalsuan. (dta/voa-islam.com)