JAKARTA (voa-islam.com) - Sebuah ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghasilkan sejumlah fatwa baru, termasuk fatwa boleh tak patuh dan mentaati pada pemimpin yang kebijakannya dianggap menyimpang.
Dalam salah satu fatwa disebutkan, pemimpin yang melegalkan hal yang dilarang agama dan atau melarang hal yang diperintahkan agama, boleh tidak dipatuhi. Termasuk pemimpin yang menyuruh maksiat.
Seorang pengurus MUI Muhyiddin Junaedi menegaskan, hal itu merupakan bagian dari fatwa tentang pemimpin yang ingkar janji kampanye.
"Jadi kalau ada pemimpin yang melarang ibadah tertentu, ya tidak boleh dipatuhi," katanya, Kamis, 11/6/2015.
Tetapi bukankah susah membayangkan ada pemimpin yang melarang ibadah, dan justru biasanya ikut terlibat, bahkan secara demonstratif, dalam ritual ibadah?"Contoh lain, misalnya, jika ada pemaksaan dari pemerintah atau kebijakan yang melegalkan perjudian, atau melegalkan tempat-tempat pelacuran dengan berbagai alasan".
Ulama yang mendapatkan gelar 'waroshatul anbiya' (pewaris Nabi), sudah seharusnya memberikan kepada umat pegangan yang jelas. Jangan sampai umat taat dan mengikuti pemimpin yang melegalkan pelacuran, minum, dan tempat-tempat maksiat masih tetap diikuti, seperti contohnya Ahok. (jj/dbs/voa-islam.com)