BANDUNG (voa-islam.com) - Ide Islam Nusantara merupakan gagasan untuk mengkerdilkan makna Islam. Seakan-akan Islam dipandang sebagai produk budaya sehingga mesti mengalami dekontruksi nilai-nilai keuniversalannya.
Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pembela Ahlu Sunnah (PAS) Jawa Barat, Ustadz Syarif Hidayat, M.Pdi.
"Sejatinya, Islam sangat berbeda dengan agama-agama kultur yang berkembang di tanah air kita ini. Jika Hindu, misalnya, dapat dipribumisasi sehingga lahir Hindu Bali yang amat berbeda ajarannya dengan Hindu Bollywood, maka Islam takkan pernah mengalami perbedaan ajaran di manapun dan kapanpun, karena Islam rahmat bagi seluruh alam," katanya kepada voa-islam.com, Jumat (19/06), seraya mengutip firman Allah surat al-Anbiya ayat 107.
...ide pribumisasi Islam dalam konteks kemoderenan kali pertama dicetuskan dan diaplikasikan di Negeri Turki pada awal paruh pertama abad XX yang lalu oleh Kemal Attaturk
Keberkahan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, menurut Ustadz Syarif, bukan hanya diperuntukkan bagi umat manusia, bahkan bangsa Jin pun ‘menikmati’ agama Islam dengan seluruh aspek ajarannya. Dan mereka tidak pernah ‘protes’ kenapa al-Qur’an, umpamanya. Dan mereka (bangsa Jin) tidak pernah pula menggugat kenapa Nabi pembawa ajaran Islam itu bukan dari bangsa mereka sendiri.
"Bangsa Jin malah betul-betul menerima Islam dengan lapang dada dan sampai saat ini belum kita dengar mereka melakukan jinisasi ajaran Islam, seperti bisa dilihat dalam surat al-Ahqof ayat 29-30," ujarnya.
Sebenarnya, lanjut Ustadz Syarif, ide pribumisasi Islam dalam konteks kemoderenan kali pertama dicetuskan dan diaplikasikan di Negeri Turki pada awal paruh pertama abad XX yang lalu oleh Kemal Attaturk, sampai-sampai saat itu semua symbol Islam diganti dengan budaya local dan Eropa, termasuk adzan harus dikumandangkan dalam bahasa Turki.
"Jadi, hemat ana, ide Islam Nusantara ini bukan ‘barang baru’ tetapi ‘barang usang’ yang seharusnya tidak tercetus dari pemimpin kita di negeri ini. Kenapa kita tidak pernah bercermin pada sekularisasi ajaran Islam di Turki yang pada akhirnya mereka sendiri merindukan kembali pada nilai-nilai yang sebenarnya sebagaimana yang pernah diturunkan kepada Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam," papar Ketua Pemuda Persis Jabar ini.
"Padahal, penamaan agama ini dengan nama Islam sendiri adalah anugerah termahal yang khusus diberikan kepada Nabi penutup, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara ajaran-ajaran Nabi sebelumnya hanya dinisbatkan kepada Nabinya masing-masing. Demikian sebagian pendapat ulama," tambahnya.
Karena itu, ide Islam Nusantara menurut Ustadz Syarif merupakan ide kesiangan dan hanya pengjiplakan sekularisasi Turki yang sudah tidak laku lagi. Jangankan ajarannya diperkosa menjadi bernuansa Nusantara dan terkesan local, malah pembacaan al-Qur’an dengan lagam Jawa pun kita sepakat akan ‘kengawurannya’. Apalagi kalau adzan dengan lagam dan bahasa Jawa. Nilai-nilai keindonesiaan saja tidak mau dijawanisasi, apalagi Islam.
Biarkan Islam dengan bahasa Arabnya, sebab bahasa Arab itu bukan hanya bahasa di dunia ini saja, melainkan penduduk akhirat kelak dan penghuni-penghuni Surga pun berbahasa Arab, bukan berbahasa Nusantara
"Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah menjalankan saja UUD ‘45 dengan sebaik-baiknya dan tidak perlu menlontarkan ide-ide aneh ke tengah-tengah masyarakat yang seakan sudah sakit melihat gelagat pemimpinnya yang hanya bisa menaikkan harga sembako dan tak mampu memberi kesejahteraan sebanarnya kepada masyarakat," ujarnya.
"Barangkali kita sudah lelah dengan kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi social, maka jangan pula kami dipusingkan dengan gagasan keagamaan kami. Apa kami harus ‘diperkosa’ dalam semua hak kami. Tolonglah, wahai pemimpin bangsa, berbuatlah dan bertuturlah dengan bijaksana! Bila Anda belum mampu menyejahterakan rakyat dengan sebenarnya, maka jangan ajaran kami diacak-acak. Biarkan Islam dengan bahasa Arabnya, sebab bahasa Arab itu bukan hanya bahasa di dunia ini saja, melainkan penduduk akhirat kelak dan penghuni-penghuni Surga pun berbahasa Arab, bukan berbahasa Nusantara. Wallahu a’lam!," pungkas mahasiswa doktoral UIKA Bogor. [syahid/voa-islam.com]