JAKARTA (voa-islam.com) - Cendekiawan Islam Dr Adian Husaini mengharapkan umat Islam melihat demokrasi sebagai sebuah realitas yang harus diterima.
“Ada Bank Islam, Politik Islam, mengapa tidak ada demokrasi Islam? Tokoh Islam Abul A’la Maududi dan Mohammad Natsir menyebutnya sebagai demokrasi yang berketuhanan,” terang Adian di depan para aktivis Islam dalam peluncuran buku Jalan Tengah Demokrasi, Selasa malam (18/8) di Jakarta.
Ia juga menjelaskan bahwa kata surga, dosa dan pahala bukan berasal dari Islam. Tapi kata itu bisa dipakai dengan dimaknai sesuai dengan makna Islam. Karena itu, menurutnya, jangan sampai umat Islam Indonesia mengutuk negaranya sendiri dan kemudian keluar dari kapal NKRI.
“Lalu menyerahkan kapal NKRI dengan pihak lain yang justru akan menguasai kapal NKRI dan kemudian menjadikan kapal NKRI ini sebagai ajang kemusyrikan dan kemungkaran dengan leluasa tanpa hambatan. Sebab para pejuang telah pergi meninggalkan kapal perjuangan ini,” jelasnya.
Dalam kata pengantar buku itu Adian menjelaskan bahwa kondisi Indonesia saat ini adalah hasil perjuangan para pejuang Islam terdahulu.
“Negeri ini dulunya 100% non Muslim. Kini hampir 100% penduduknya Muslim. Ini prestasi dakwah yang luar biasa. Ratusan tahun penjajah kafir berusaha menggusur dominasi Islam sebagai agama mayoritas. Tetapi usaha mereka gagal. Tentu usaha untuk merusak Muslim dan Islam itu akan terus berjalan di atas kapal bernama NKRI ini. Begitu pula umat Islam juga terus berusaha meningkatkan kualitas keislaman para penumpang kapal ini, menghadapi setan-setan yang jelas-jelas disebutkan dalam Al Qur’an sebagai ‘musuh kamu yang nyata’,” jelas Adian.
Kedaulatan syariat belum diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sepenuhnya, meskipun dalan setiap pengesahan Undang-Undang, selalu disertai dengan ungkapan Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Lebih lanjut Doktor dari ISTAC Malaysia ini menjelaskan bahwa di atas kapal NKRI inilah kita sekarang berada.
“Apapun kondisinya ini kapal kita bersama. Kita berusaha terus melakukan perbaikan agar nakhoda dan penumpang kapal ini semakin mengenal Tuhan Yang Maha Esa (ma’rifatullah). Kita berjuang, berdoa dan terus berusaha menyadarkan agar masyarakat jangan menantang Allah SWT dengan berbagai tindak kemusyrikan dan kedurhakaan kepada-Nya. Jangan sampai Allah murka, karena berdiam diri, dan tidak peduli dengan lingkungan kita. Hanya peduli dengan ibadah dan nasib diri kita dan tidak peduli dengan kemungkaran yang berkembang. Padahal Nabi saw memerintahkan, Siapa diantara kamu melihat kemungkaran, ubah dengan tanganmu. Jika tidak mampu ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, ubah dengan hati. Dan itu selemah-lemahnya iman,” paparnya.
Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor ini menjelaskan bahwa buku Jalan Tengah Demokrasi ini merupakan salah satu usaha untuk mendudukkan demokrasi secara obyektif dan kemudian memberikan kiat-kiat memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan perjuangan Islam di Indonesia.
Adian menyadari bahwa memang banyak aturan dan praktik dalam kapal NKRI itu yang belum sesuai dengan ajaran Islam. Kedaulatan syariat belum diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sepenuhnya, meskipun dalan setiap pengesahan Undang-Undang, selalu disertai dengan ungkapan Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 pun menegaskan bahwa kemerdekaan ini diraih atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Bahkan pada alinea keempat ditegaskan, bahwa negara Indonesia berdasarkan atas “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Munas Alim Ulama NU tahun 1984 di Situbondo memutuskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna Tauhid dalam ajaran Islam.
“Maka sebenarnya, secara konstitusional, NKRI adalah sebuah negara yang telah mendeklarasikan dirinya berdasar atas tauhid dalam ajaran Islam,” pungkasnya. [nh/sharia/voa-islam.com]