JAKARTA (voa-islam.com) – Maarif Institute bekerjasama dengan Mizan menerbitkan buku Fikih Kebinekaan (Agustus 2015). Buku yang tebalnya 360 halaman itu, berisi artikel-artikel yang ditulis lebih dari 16 penulis. Intinya bila dikaji seksama buku ini mendukung faham pluralisme dan kepemimpinan non Muslim di Indonesia.
Sebelum buku ini diluncurkan 20 Agustus 2015 lalu, Maarif Institute pada Februari lalu mendahuluinya dengan membuat seminar yang bertema Halaqah Fikih Kebinekaan. Acara ini dilaksanakan 24-26 Februari 2015 lalu di Jakarta. Harian Kompas membuat liputan acara ini hampir setengah halaman (28/2/2015).
Dalam acara itu selain dihadirkan intelektual-intelektual yang selama ini dikenal pemikirannya liberal, juga dihadirkan dua lurah. Dua kepala desa itu adalah Susan Jasmine kepala desa Gondangdia Jakarta dan Halidja Marding kepala desa Morea Minahasa Tenggara. Susan mewakili lurah non Islam memimpin daerah mayoritas Islam dan Halidja lurah Muslim memimpin daerah mayoritas non Islam.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah menyatakan bahwa Indonesia yang majemuk merindukan bacaan kitab suci yang sesuai dengan konteks budaya dan sosial setempat. “Di negeri ini kita perlu bacaan yang toleran terhadap perbedaan interpretasi keagamaan dan tidak memonopoli kebenaran,”tulis Kompas.
“Pertimbangkan kebinekaan dalam pembuatan legislasi dan regulasi demi menjaga kehidupan harmonis dan mencegah konflik,” ujar Khelmy K Pribadi Manajer Program Islam dan Media Maarif Institute dalam acara itu.
Bila ide-ide Maarif Institute (MI) ini disebarkan, maka ke depan kaum Muslim Indonesia akan menyerahkan banyak kepemimpinan daerah atau pusat ke pemimpin ke non Muslim
Kelanjutan dari Buku Fiqih Lintas Agama?
Buku Fiqih Kebinekaan ini sebenarnya mirip dengan buku Fiqih Lintas Agama (FLA) yang diterbitkan atas kerjasama Yayasan Wakaf Paramadina dan Asia Foundation (2004). Buku FLA ini sempat menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat karena isinya menjustifikasi kebenaran agama lain dan mendekontruksi hal-hal yang sudah ‘muhkamat’ dalam Islam.
Bagi masyarakat awam membaca buku Fikih Kebinekaan mungkin biasa saja. Tapi bagi mereka yang mendalami keilmuan Islam, akan menganggap bahwa buku ini membahayakan masyarakat. Karena penulis-penulisnya intinya menjustifikasi bahwa kepemimpinan non Muslim di wilayah mayoritas Muslim (Indonesia) adalah suatu keniscayaan demokrasi, karena itu tidak perlu dipermasalahkan.
Siti Ruhaini Dzuhayatin di dua aline terakhirnya artikelnya menulis: “Pada saat ini masyarakat cenderung berfikir substantif ketimbang simbolis sehingga dualisme kepemimpinan itu dapat diterima realistis bahwa kepemimpinan politik diarahkan untuk mendistribusi keadilan dan kesejahteraan siapapun dan apapun latar belakangnya. Sedangkan pada masalah agama, mereka lebih kritis, seiring meningkatnya pendidikan sehingga otoritas agama tidak lagi bersifat tunggal. Terlebih lagi privatisasi dan domestifikasi agama nampak semakin menggejala sehingga ikatan kolektivitas terhadap figur karismatik semakin memudar…”(halaman 315).
Sedangkan Wawan Gunawan Abdul Wahid menulis: “Di tempat lain Ibn Taimiyah menegaskan bahwa keadilan merupakan syarat terpenting bagi seorang pemimpin. Sedemikian pentingnya tentang keadilan ini, Ibn Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya Allah menyokong negara yang adil meskipun kafir (pemimpinnya). Dunia itu dapat tegak dengan memadukan antara kekufuran dan keadilan dan dunia tidak dapat tegak dengan modal kezhaliman dan keislaman.” Kalimat Ibn Taimiyah di atas kiranya mengisyaratkan bahwa kepala negara yang mampu mengejawantahkan keadilan meskipun non Muslim lebih baik daripada kepala negara yang beragama Islam tetapi tidak mampu mengejawantahkan keadilan.” (halaman 321)
Untuk membenarkan pendapatnya bahwa pemimpin non Muslim tidak masalah, Wawan Gunawan selanjutnya mengutip tokoh Islam Muhammad Abduh. “Kata Abduh, ayat-ayat yang dikutip para ulama yang menolak menjadikan non Muslim sebagai pemimpin sama sekali tidak dapat ditolak kebenarannya.
Yang tidak disebutkan kata Abduh, bahwa mereka yang dilarang untuk dipilih itu adalah karena mereka memusuhi umat Islam. Ketika entitas non Muslim itu tidak memusuhi umat Islam dan mereka bersama-sama umat Islam dalam satu entitas negara sebagai warga negara maka mereka dapat dipilih sebagai kepala negara. Abduh melandasi argumentasinya dengan Surah al Mumtahanah ayat 7, 8 dan 9…” (halaman 323).
Akhirnya Wawan Gunawan, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pengurus Muhammadiyah ini menyatakan : “Karena itu pula tulisan ini dapat ditutup dengan penegasan. Memilih pemimpin non Muslim di tengah masyarakat Muslim hukumnya diperbolehkan. Itu dirujukkan pada dua hal.
Pertama, masalah kepemimpinan dalam hukum Islam merupakan persoalan yang bukan absolut (al mutaghayyirat). Kedua, larangan memilih pemimpin non Muslim dikaitkan dengan sebab yang menyertainya. Yaitu manakala mereka (non Muslim) melakukan penistaan kepada umat Islam. Dalam suatu masyarakat majemuk dimana antara umat Islam dan non Muslim bersatu dalam suatu entitas negara-bangsa maka antara keduanya bisa merajut hubungan harmonis yang saling memerlukan.” (halaman 325).
Tidak ada Pemimpin Muslim yang Adil di Negeri ini?
Pernyataan Ibn Taimiyah ‘sesungguhnya Allah menyokong negara yang adil meskipun kafir (pemimpinnya)’ atau ‘pemimpin kafir yang adil lebih baik dari pemimpin Muslim yang zalim’ banyak dipakai para politisi menjelang pemilu gubernur Jakarta 2012 lalu. Salah seorang tokoh Gerindra mengampanyekan Ahok (yang mendampingi Jokowi) di berbagai tempat saat itu dengan dalil ini. Kini Gerindra menyesal dan berdiri di barisan depan DPRD untuk mengkritisi atau melengserkan Ahok dari kursi gubernur DKI Jakarta.
Pernyataan Ibn Taimiyah tentu saja tidak salah. Tapi seperti kata Sayidina Ali itu adalah kalimat haq tapi yang dimaksudkan batil. Pernyataan Ibn Taimiyah ini tentu perlu dilihat konteksnya. Misalnya kini umat Islam di Mesir yang tertindas di bawah ‘presiden Muslim’ diktator yang zalim (as Sisi), merasa lebih menderita dibandingkan umat Islam yang hidup di Inggris dibawah PM Tony Abbot (non Muslim).
Tapi ketika dihadapkan kenyataan politik di negeri ini –yang kini menganut demokrasi- tentu umat Islam harus mencari atau memilih pemimpin Islam yang adil. Tentu hal yang mustahil di antara jutaan umat Islam di negeri ini baik dalam pilkada maupun pemilu presiden tidak ada pemimpin Muslim yang adil. Dan mengapa pilihannya kok pemimpin Muslim yang zalim dan pemimpin kafir yang adil? Kenapa pilihannya tidak pemimpin Muslim yang adil dan pemimpin kafir yang zalim.
Dalam pandangan Al Qur’an/Islam orang kafir –bagaimanapun baiknya—ia tidak bisa bersifat adil (zalim). Ia telah menzalimi Tuhan yang menciptakannya. Dalam surat Luqman ayat 13 diterangkan : “Sesungguhnya syirik (menyekutukan Allah) itu adalah kezaliman yang besar.” Jadi dalam Islam, selain kezaliman kepada manusia juga ada kezaliman kepada Tuhan.
Karena itu Rasulullah saw dalam hadits-haditsnya menekankan perlunya pemimpin yang adil. Jadi bila ditelaah secara benar, maka pemimpin non Islam (kafir) sejatinya tidak akan pernah berlaku adil.
Maka kewajiban Muslim mencari pemimpin yang adil (dan Muslim). Dalam sejarah Islam, pemimpin-pemimpin yang berhasil yang tercatat dalam sejarah mesti pemimpin Muslim. Tidak ada pemimpin non Muslim yang diagungkan oleh para ulama, sejarawan Muslim atau umat Islam. Karena pemimpin dalam Islam adalah teladan. Bagaimana ia bisa menjadi teladan rakyatnya yang Muslim padahal ia tidak pernah shalat dan menyebut nama Allah dan Rasul-Nya Muhammad saw?
Ayat-ayat Al Qur’an jelas melarang mengambil pemimpin non Islam. Apalagi di daerah mayoritas Islam dan mereka mampu memilih pemimpin Muslim (yang adil): “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).(Ali Imran 28)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Al Maidah 51)
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang nyata bagi Allah (untuk menghukummu) (An Nisa’ 144)
Ayat-ayat tentang kepemimpinan yang sudah jelas ini (muhkamat) tidak bisa dibatalkan dengan surat al Mumtahanah 7,8 dan 9. Dan bila diteliti secara mendalam, ayat-ayat Mumtahanah itu isinya adalah hubungan baik Muslim dan non Muslim, selama non Muslim itu tidak menzalimi atau memerangi umat Islam.
Ayat-ayat ini tidak bicara tentang masalah kepemimpinan. Jadi meskipun Wawan Gunawan mengutip pendapat Abduh, maka dalam hal ini pendapat Abduh adalah lemah. Apalagi bila dikaji lebih jauh, Abduh adalah salah satu tokoh Timur Tengah yang kontroversial dalam masalah politik.
Walhasil, buku Fiqih Kebinekaan yang diterbitkan Maarif Institute (dan Mizan) itu bukanlah persembahan untuk umat Islam. Tapi persembahan bagi non Muslim atau ‘donatur’ yang berada di belakangnya.
Buku yang diterbitkan Maarif Institute (MI) itu jelas membahayakan Islam dan umat Islam Indonesia di masa depan. MI mencoba meruntuhkan ketetapan dalam Al Quran dan Hadits yang jelas-jelas mengharamkan pemimpin non Islam di wilayah mayoritas Islam.
Bila ide-ide Maarif Institute (MI) ini disebarkan, maka ke depan kaum Muslim Indonesia akan menyerahkan banyak kepemimpinan daerah atau pusat ke pemimpin ke non Muslim. Tidak ada usaha untuk menciptakan pemimpin-pemimpin Islam. Padahal kata mantan Ketua PBNU, KH Muzadi, “Mereka (non Muslim) telah menguasai ekonomi. Mereka ingin menguasai politik.”
Begitu pula Rais Am Syuriah NU, KH Makruf Amin pernah menyatakan bahwa skenario non Muslim di Indonesia ke depan adalah menjadikan non Muslim sebagai presiden atau wakil presiden, setelah beberapa daerah mereka menjabat sebagai gubernur, walikota atau wakilnya.
Karena itu, mantan Ketua Umum Muhammadiyah Prof Amien Rais pernah mengeluhkan Syafii Maarif yang sudah berusia senja, membuat Maarif Institute. MI seperti diketahui banyak aktivitasnya yang mengarahkan Islam ke liberal. Maka tidak heran bila Harian Kompas banyak memberikan ruang bagi MI baik liputannya maupun tulisan-tulisan aktivisnya.
Begitu pula salah satu pimpinan Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas mengeluhkan peluncuran buku Fikih Kebinekaan di gedung PP Muhammadiyah.
“Buku Fikih Kebinekaan bukan urusan Muhammadiyah. Penerbit buku itu hanya meminjam tempat di Muhammadiyah. Itu diterbitkan Maarif Institute, walaupun mungkin banyak orang-orang Muhammadiyah, (tapi) secara kelembagaan tidak ada hubungannya,“ kata Prof Yunahar. [syahid/sharia/voa-islam.com]
Walhasil, how low can you go Maarif Institute?
Penulis: *Nuim Hidayat (Mantan Redaksi Majalah Tabligh Muhammadiyah)
Rep: RF