JAKARTA (voa-islam.com)- Beredarnya dugaan suara Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj di media sosial Youtube yang mengatakan, bahwa orang yang memiliki jenggot pikirannya rendah telah menuai kontroversi di kalangan aktivis dan ulama atau pemuka agama Islam Tanah Air. Dan di dalam kesempatan lain ia juga pernah mengatakan bahwa orang yang memiliki jenggot kesadarannya dalam perbedaan tidak ada.
Abdullah Murtadho salah satunya. Ia yang merupakan cucu kyai desa KHM Basori Alwi Murtadho ini dengan sopan menyampaikan bahwa apa yang dikatakan oleh kang, demikian ia memanggil Said Aqil memamg kontroversial. Apalagi ia melihat Sadi Aqil adalah Ketua dan tokoh NU, yang sebetulnya tidak pantas mengucapkan itu.
Guru mengaji ini juga mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Ketum PBNU tersebut dapat menyebabkan problema tersendiri, terlebih jika ini dijadikan sebagai pintu tafriq. Dan tentunya ini tidak mencerminkan kebijaksanaan serta sikap yang salah.
“Kang said dengan kapasitasnya sebagai ketua NU dan tokoh, sangatlah berbahaya sekali mengucapkan hal -hal yang semacam itu yang mana bisa menyebabkan problem dan masalah besar, yang semestinya tidak terjadi. Dan ini juga menjadi gerbang tafriq. Sungguh ini adalah hal yang sangat salah dan sangat tidak bijaksana,” katanya seperti yang dikutip dari laman NUGarisLurus.com.
Menurutnya, apa yang disampaikan Said secara tidak lamgsung mengingkari sunnah-sunnah Nabi Muhammad yang ada. Sebab persoalan Said dalam menyebut bukan ‘panjangnya jenggot’, melainkan kata-kata ‘berjenggot’ yang diucapkan sebagai indikasinya.
Abdullah juga menyebut, merapikan jenggot yang panjang dengan berjenggot adalah dua hal yang berbeda. Memiliki jenggot (berjenggot) adalah sunnah begitu pula memendekkan jenggot (merapikan) jenggot yang melebihi genggaman tangan.
Ia mengatakan, Said, dalam rekaman di media sosialmengatakan orang berjenggot, bukan orang yang tidak merapikan jenggotnya yang panjang. Maka ketika yang dikatakan demikian, itu artinya yang dihantam adalah hadits-hadits.
Berikut hadits yang Said hantam terkait ‘jenggot’:
Hadits pertama dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot,” (HR. Muslim no. 623)
Hadits kedua dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim no. 625)
Hadits ketiga dari Ibnu Umar radhiyallahu‘anhuma, beliau berkata: “Beliau shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.” (HR. Muslim no. 624)
Hadits keempat, dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pendukkanlah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim no. 626)
Hadits kelima, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893)
Hadits keenam, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)
Said Aqil Siradj yang mengutip dari al-Imam al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam kitabnya ‘Akhbarul Hamqa wal Mughaffain’ itu sesungguhnya keterangan yang terdapat di dalam Taurat. Yang tertulis, “Sesungguhnya jenggot itu tempat keluarnya dari otak. Barang siapa yang berlebihan dalam memanjangkannya maka sedikitlah otaknya. Barang siapa yang sedikit otaknya maka sedikitlah akalnya. Dan batang siapa yang sedikit akalnya, maka dia itu koplak.”
Selain itu ia menjelaskan bahwa, “Sebagian ahli hikmah berkata bahwa tempatnya akal adalah otak. Dan jalannya ruh adalah hidung serta tempat kebodohan adalah panjangnya jenggot.”
Maka dari itu, Abdullah menyatakan kalau cuplikan dari ibnul jauzi di atas digunakan sebagai apologi, maka sangatlah tidak pantas. Bahkan su’ul adab menghadapkan hadits-hadits shahih riwayat Bukhari muslim yang notabene merupakan sabda Rasulullah ini dihadapkan dengan ibnul jauzi dengan kitabnya akhbarul hamqa wal mughaffalin.
Kapasitas Maqalah ulama jelas tidak dapat disejajarkan dengan Sabda Rasulullah saw, apalagi dari shahih Bukhari-Muslim. Tapi kalau memang isi perkataan kang Said masih dipaksakan untuk dita’wil (padahal hemat saya itu sudah jelas, sebab tuntutan kita sebagai manusia adalah nahkum bidz dzawahir). Maka paling tidak, yang tidak dapat ditakwil, semestinya perlu dikritisi demi kemaslahatan umat, dan juga Nahdhilyin khususnya.
Siapapun yang memiliki ghirah pasti akan mengkritisi hal ini demi kemaslahatan umat. Dan jangan sampai ashobiyah membutakan kita dari membedakan mana haq dan mana bathil.
Terlepas dari masalah kang said, saya sampaikan kisah mengenai ancaman orang yang sampai terpeleset menghina sunnah Rasulullah saw yang sangatlah berbahaya, untuk renungan diri saya sendiri khususnya dan buat ikhwan yang membaca.
Abdullah yang pernah nyantri di Yaman ini mengajak kita untuk merenungkan firman Allah subhana wa ta’ala dalam surat At Taubah: 64-66): “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya). Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)