JAKARTA (voa-islam.com) - Telah lahir seorang imam Katolik dari keluarga Muslim. Ini hanya sepenggal kisah keberhasilan dari kalangan gereja 'MEMURTADKAN' keluarga-keluarga Muslim. Memang, begitu banyak keluarga miskin dari kalangan Muslim, dan kemudian dibujuk gereja di sekolahkan sekolah theologi.
Kisah tragedi yang sangat mengharukan adalah Engelline. Diadopsi dari keluarga Muslim sejak bayi oleh keluarga Kristen, dan kemudian dibunuh secara tragis oleh ibu angkatnya. Hanya karena masalah harta. Ibu angkatnya sangat tega membunuh anak angkatnya.
Ada lagi, seorang da'i yang murtad Saefuddin Ibrahim, yang memiliki pengetahuan tentang Islam, al-Qur'an, dan Nabi Muhammad Shallahu alaihi wassalam, pernah bersantri di al-Zaitun, dan kemudian murtad menjadi pendeta, dan di mana-mana dia berbicara di depan jemaat gereja memberikan 'testemoni' (kesaksian), bahwa Islam dan Muhamad itu sesat.
Sekarang, Tempo membuat laporan 'feature' yang ingin begitu tolerannya sebuah keluarga Muslim, dan ibu kandungnya menghadiri pentahbisan anaknya menjadi imam Katolik. Tempo mengisahkan tentang Robertus Belarminus Asiyanto, 31 tahun yang diangkat menjadi imam baru.
Asiyanto adalah salah satu dari 11 imam baru Tarekat SVD (Societas Verbi Divini) atau Serikat Sabda Allah. yang ditahbiskan di Seminari Tinggi Santu Paulus Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur pada Sabtu, 10 Oktober 2015.
Kisah Pastor Yanto – begitu dia disebut – menyedot perhatian publik tatkala foto-foto pentahbisannya muncul di media sosial. Dalam foto itu, Yanto didampingi ibundanya, Siti Asiyah, seorang muslimah. Pastor Hubertus Tenga SVD, Sekretaris Misi Provinsi SVD Ende memposting sejumlah foto-foto pentahbisan 11 pastor muda tersebut di wall Facebook-nya.
“Ini untuk informasi bagi para anggota Tarekat SVD Indonesia dan SVD mondial. Tidak saya sangka ternyata banyak sekali yang berminat dan meminta informasi tentang ibu dan anak ini,” ujar Hubertus, yang pernah bertugas di sejumlah negara Amerika Selatan, kepada Tempo.
Pimpinan SVD Pronvinsi Ende, Pater Provinsial Leo Kleden SVD mendampingi Uskup Agung Mgr. Vincencius Sensi Potokota Pr mengenal baik Siti Asiyah – yang biasa dipanggil Mama Asiyah. Menurut Leo, Mama Asiyah adalah satu-satunya wakil orangtua yang dipersilakan untuk berdiri mewakili para orangtua tatkala pihak SVD memberi sambutan.
“Beliau seorang Ibu yang luarbiasa, membesarkan sendiri anaknya dari kecil dengan banyak penderitaan dan memberi kebebasan seluas-luasnya kepada putranya untuk menjadi pastor,” kata Leo . “Seluruh hadirin di memberi tepuk tangan panjang bagi Siti Asiyah, yang berlinang matanya saat anaknya diurapi menjadi imam,” dia menambahkan.
Siti Asiyah berasal dari Jawa. Sebelum pergi ke Flores, Asiyah dan suaminya punya satu putri yang dititipkan pada kakek dan neneknya. Di Flores, Asiyah melahirkan Asiyanto. Namun, sang suami karena sang suami kembali ke Jawa dan meninggalkan diri Asiyah seorang diri bersama bayinya.
Asiyah, sehari-hari bekerja di Rumah Sakit Santo Rafael Cancar, Flores Barat. Dia menjadi single parent dalam mendidik dan mengasuh sendiri anaknya itu. Asiyanto bersekolah di lingkungan Katolik. "Anak itu sendiri masuk Katolik sewaktu dia kecil, mungkin sewaktu SD," Leo menjelaskan. Asiyanto pun masuk seminari dan menempuh pendidikan menjadi imam
Sebelum proses pentahbisan itu, Asiyanto pernah meminta izin kepada ibunya untuk menjadi pastor. "Anaknya bilang ingin jadi pastor. Ibunya bilang, 'Kamu ikut panggilan hati kamu'," kata Leo mengulangi percakapan Yanto dan ibunya.
Saudara perempuan Asiyanto, yang ditinggal di Jawa, juga menghadiri pentahbisan ini. Asiyah pun baru bertemu dengan anak sulungnya itu, sejak 30 tahun lalu. Asiyanto adalah mahasiswa di tempat Leo Kleden mengajar, yakni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Hubertus Tenga yang banyak dihubungi media dalam dan luar negeri setelah munculnya foto Asiyah dan Asiyanto di wall Facebooknya menyatakan, “Di tengah pertikaian antar-agama yang hebat di berbagai belahan dunia, teladan spiritual Mama Asiyah menjadi contoh nyata semangatinter-religious action,” ujar Herbertus yang separuh keluarganya juga muslim.
Sebelas imam baru Tarekat SVD tersebut akan bertugas di Indonesia dan sebagian besar di luar negeri.
Padahal, hukumnya bagi mereka yang murtad hanyalah hukuman mati. Tidak ada tempat di dalam Islam bagi mereka yang murtad, kecuali hukuman mati. Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Sidq, sesudah diangkat menjadi Khilafah, pertamakali yang dilakukan memerangi orang-orang yang murtad. (sasa/dvs/voa-islam.com)