View Full Version
Jum'at, 16 Oct 2015

Hari Santri sebagai Upah NU Atas Dukungannya Pada Jokowi, Muhammadiyah Menolak

BANDUNG (voa-islam.com) - "Hari Santri", tak lain sebagai upah dari Jokowi kepada kalangan Nahdiyyin (NU), yang sudah mendukung  Jokowi.  Janji "Hari Santri" diucapkan Jokowi saat kampanye  di sebuah pondok di Malang. Jokowi juga mengganjar 5 kursi bagi NU di  Kabinet Gotong Royong.

Menanggapi "Hari Santri" itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah  Haedar Nashir mengatakan organisasinya menolak Hari Santri Nasional. “Semangat Muhammadiyah itu semangat ukhuwah yang lebih luas di tubuh umat Islam, agar umat utuh, tidak terkotak-kotak pada kategorisasi santri dan non-santri,” ucapnya setelah membuka Tanwir II Nasyatul Aisyiyah di Bandung, Kamis, 15 Oktober 2015.

Haedar beralasan, Hari Santri Nasional  justru akan mengukuhkan kategorisasi di kalangan umat Islam. “Santri itu kategori dalam genre umat Islam yang tingkat beragamanya lebih terpenuhi. Kemudian kategorisasi yang lain ada abangan dan sebagainya. Kita menolak kategorisasi itu,” ujarnya.

Haedar mengaku tengah menyiapkan surat dari organisasinya yang ditujukan kepada Presiden Jokowi soal penolakan tersebut, juga pada organisasi Islam lain. 

“Kita berusaha hal seperti itu tidak pakai surat. Tapi, kalau memang dipandang perlu, kami akan kirim surat kepada Presiden. Dan kami juga sampaikan kepada saudara kami dari umat Islam, dari organisasi Islam lain, bukan Muhammadiyah itu suka atau tidak suka dengan ini, tapi ingin lebih berpikir secara luas dan tidak terkotak-kotak,” tuturnya.

Menurut Haedar, kategorisasi antara santri dan nonsantri itu yang ditolak organisasinya. “Kategorisasi santri, abangan, dan priyayi itu harus kita tinjau secara akademik, karena itu membelah umat Islam pada santri dan nonsantri. Padahal umat Islam itu satu-kesatuan,” katanya.

Haedar berujar, Muhammadiyah menilai sudah cukup hari-hari besar keagamaan yang ada dan disepakati bersama di kalangan umat Islam. “Kita memandang bahwa cukuplah hari-hari besar Islam itu dengan apa yang selama ini kita miliki. Ada 1 Muharam, Maulud Nabi, Isra Mikraj, dan seterusnya. Dan itu disepakati semua golongan muslim, tanpa kecuali,” ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyatakan Presiden Jokowi setuju tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. "Pak Jokowi pada dasarnya merestui," ujar Said dalam konferensi pers di kantor PBNU, Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2015.

Tanggal 22 Oktober dipilih karena mempresentasikan substansi kesantrian, yakni spiritualitas dan patriotisme, ketika Kiai Hasyim Asyari mengumumkan fatwa yang masyhur disebut Resolusi Jihad untuk merespons Agresi Belanda II. "Resolusi Jihad memuat seruan-seruan penting yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan serta berdaulat sebagai negara dan bangsa," kata Said Aqil.

Dikotomi 'Santri - Abangan' datang dari ilmuwan Barata, Clifford Geert, yang membelah umat Islam, dengan kategorisasi 'Santri - Abarang', dan faktanya masyarakat Indonesia terpolarisasi dalam kotak "Santri dan Abangan". Itu tidak dapat dipungkiri.

Santri mereka yang taat kepada ajaran Islam, sedangkan "Abangan", yang hidup penuh dengan maksiat dan durhaka, menjalani  "mo limo".  (madon/main perempuan, madat/, minum, main/judi, dan mateni/membunuh). Dan Indonesia sekarang dikuasai oleh kaum "Abangan". (sasa/dbs/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version