JAKARTA (voa-islam.com)--Mustofa B. Nahrawarday, Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) menilai bahwa akar masalah kasus pembakaran gereka liar di Aceh Singkil bukanlah karena intoleransi.Tetapi murni kemarahan masyarakat atas pelanggaran yang sudah lama dilakukan pemeluk Kristen di sana.
Mustofa menegaskan bahwa disebut intoleransi apabila terjadi pelarangan kegiatan beribadah. Adapun pelarangan pembangunan tempat ibadah masuk ke aturan hukum yang dibahas dalam SKB 2 menteri.
"Maksud dari intoleransi bukan larangan mendirikan tempat ibadah. Harus beda antara melarang ibadah dan melarang mendirikan tempat ibadah," ungkap Mustofa kepada voa-islam beberapa saat yang lalu.
"Kalau melarang ibadah misalkan kamu jangan shalat, jangan ibadah, jangan kebaktian. Tapi kalau melarang mendirikan tempat ibadah ini beda lagi. Ini terkait dengan aturan pemerintah. Beda antara melarang ibadah dan larangan tempat bangunan," jelas Mustofa.
Beliau melanjutkan, bahwa pemerintah tidak memiliki hak melakukan tindakan pelarangan kegiatan beribadah bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.
"Kalau melarang ibadah misalkan kamu jangan shalat, jangan ibadah, jangan kebaktian. Tapi kalau melarang mendirikan tempat ibadah ini beda lagi. Ini terkait dengan aturan pemerintah. Beda antara melarang ibadah dan larangan tempat bangunan,"jelas Mustofa.
Mustofa memaparkan akibat dari pelanggaran aturan SKB 2 Menteri. Beliau pun menjelaskan penggunaaan kata toleransi dalam mendirikan bangunan tidak pas dijadikan alasan untuk mendirikan bangunan rumah ibadah.
"Kalau gak diatur nanti setiap masjid harus ada gereja.Kata mereka kalau ada gereja harus ada masjid d sampingnya, ini gak bisa berlaku. Coba tanyakan apakah kalau mereka mendirikan gereja mengharuskan ada masjid di sampingnya. Tentu gak mau," ujar Mustofa.*
[Sendia/Syaf/voa-islam.com]