View Full Version
Selasa, 10 Nov 2015

Nasehat Prof Hasan Ko Nakata tentang Suny, Syiah dan Pentingnya Khilafah Kepada Umat Islam

Jogjakarta (voa-islam.com)Senin, 09 November 2015, di tengah kesejukan udara sore langit selatan Yogyakarta sedang berlangsung Forum Studium General di Kampus STEI Hamfara Yogyakarta yang mengangkat Tema “The Suffered Moslem World, Middle East Current Situation and its Future” dengan pembicara Prof. Hasan Ko Nakata beliau lahir di Okayama, Jepang pada tahun 1960.

Nama aslinya Nakata Ko. Setelah masuk Islam di Masjid Kobe pada tahun 1983, ia menambahkan namanya menjadi Hassan Ko Nakata. Ia meraih gelar MA di bidang Islamic Studies di University of Tokyo (1986), sementara gelar Ph.D-nya didapat di Cairo University di bidang pemikiran Politik Islam (1992). Disertasinya berjudul “Fikrah Siyasah ‘Inda Ibni Taymiyyah”.

Selain itu, ia juga memiliki ijazah Fiqh Hanafi Kitab al-Ikhtiyar (1997) dan Tafsir Jalalain (1998) saat menempuh studinya di Kairo, Mesir. Sekarang ia adalah ialah seorang Guru besar di bidang pemikiran politik islam di Fakultas Teologi, Doshisha University, Kyoto, Jepang. juga seorang anggota Dewan Direktur Asosiasi Muslim Jepang. Acara di hadiri sekitar 300 Mahasiswa/I STEI Hamfara, namun tampak juga beberapa Maasiswa/i dari UGM, UAD, ISI, dan kampus-kampus lain yang meramaikan Acara Studium General tersebut.


Tepat Pukul 15.30 WIB Acara dibuka oleh Akhuna Widodo selaku MC, dilanjutkan Tilawatil Quran oleh Ust.Mukhlis dan Sambutan dari pihak kampus yang di sampaikan oleh Bpk.Wijiharta, Acara inti yang dinanti pun tiba. Dalam penyampaiannya Prof Hasan memaparkan materinya dengan Bahasa Arab yang diterjemahkan oleh KH. Shiddiq Al-Jawi.


Diawal penyampaiannya Prof.Hasan berpesan bahwa dalam membaca kondisi timur tengah hari ini kita tidak boleh melewatkan perjalanan timur tengah di masa lalu. Beliau melanjutkan tentang pembahasan mengenai kebangkitan Iran yang kita kenal dengan Revolusi Iran di tahun 1979 yang di motori oleh Khomaini dan Kaum Syiah Iran lainnya. Kemudian beliau menjelaskan tentang Ahlus Sunnah dan Syi’ah yang memilki paham aqidah, fiqih maupun politik yang sangat bertolak belakang.


Dalam pemikiran politiknya syi'ah berpendapat bahwa seorang imam ialah pewaris Nabi, Ma'shum, mereka meyakini Rasul telah berwasiat bahwa pelanjut Rasulullah ialah Sayyidina Ali R.A, mereka juga menganut paham 12 imam dengan imam terakhirnya ialah Imam Mahdi yang hingga kini masih Ghaib kebaradaannya.


Pasca revolusi Iran (1979) Imam Khomaeni menelurkan pemikiran politik baru bagi kaum Syi’ah yaitu konsep Wilayatul Faqih, yakni bolehnya orang-orang faqih (ulama) yang menjadi penguasa saat ghaibnya keberadaan Sang Imam.
Dikemudian hari dengan konsep Wilayatul Faqih-nya Iran mampu memberikan pengaruh di dunia Arab seperti: membentuk tentara hizbullah di Lebanon yang kabarnya lebih kuat dari tentara militernya Lebanon sendiri, menancapkan Ayatullah Sistani (syiah-iran) sebagai pengganti Saddam Husain di Irak.


Suriah yang mayorias penduduknya Ahlus-Sunnah, juga dipimpin oleh orang-orang Syiah Nushairiyah. Sama halnya yang terjadi pada Houtsi di yaman yang awalnya merupakan Partai Zaidiyah karena terpengaruh Revolusi Iran, hari ini sedikit berbelok dan dicap sebagai Syibhu Itsna 'Asy'ariyah. Beliau juga sedikit menyingung posisi Iran di kancah perpolitikan global, setelah di scors dari Organisasi Internasional karena menduduki secara paksa kedubes Amerika saat Revolusi, pasca penandatanganan perjanjian nuklir Iran masuk kembali ke dalam organisasi internasional.

Sedangkan Ahlus Sunnah, beliau menjelaskan bahwa semua negara kaum muslimin di pimpin oleh taghut, namun pasca terjadinya kudeta satu per satu di negeri kaum muslimin masih tidak menghasilkan dampak serta perubahan yang positif bagi kaum muslimin. Beliau mencontohkan Indonesia dengan pelengseran presiden Suharto, Ben Ali di  Tunisia, Khadafi di Libya, yang terbaru ialah Mesir dimana Mursi dari Ikhwanul muslimin yang telah berhasil mencapai tampuk kekuasaan tertinggi juga di kudeta, bahkan yang terjadi hingga hari ini hanyalah perang saudara khususnya di Irak dan Suriah. Ikhwanul Muslimin juga di larang di mesir, tunisia dan negara teluk lainnya. banyak para ulama yang melarikan diri ke Turkey.


Beliau menganalisa, jika di bandingkan kekuatan Syiah dan Sunni hari ini maka jelas Syiah berada diatas angin karena konsep politik Wilayatul Faqih yang mereka miliki sebagai kuncinya. sehingga mereka bisa berkembang di dunia muslim termasuk juga Indonesia yang hingga hari ini sangat marak perkembangannya. Sedangkan Sunni, mengapa hari ini Ahlus Sunnah terpecah-belah? bahkan terjadi perang saudara di mana-mana? Beliau mengatakan karena konsep politik Ahlus Sunnah yang dikenal dengan Khilafah tidak ada.[protonema/muslimbicara/voaisam]

 
 
 
 

latestnews

View Full Version