JAKARTA SELATAN (voa-islam.com) - Seseorang berhutang kepada saudaranya sebesar 500 ribu rupiah. Saudaranya berpesan, jika sudah ada nanti segera dikembalikan. Orang yang berhutang berjanji jika sudah punya uang akan segera dikembalikan. Dia merasa sangat terbantu dengan pinjaman tersebut sehingga bertekad dalam hatinya, nanti akan memberikan tambahan dalam pengembalian.
Saat mengembalikan, dia menambahkan 50 ribu kepada suadaranya sebagai bentuk terima kasih. Ini tidak disebut riba. Karena tambahan tadi tidak disyaratkan, tidak dijanjikan, dan tidak kaitkan dengan tempo pembayaran.
Berbeda jika seseorang meminjamkan 500 ribu kepada kawannya. Kemudian dia memberikan syarat saat penyerahan itu agar ia mengembalikan sebesar 550 ribu rupiah. 50 ribu tersebut disebut riba. Hukumnya haram. Orang yang memakan dan yang memberikan kesempatan terjadinya riba hukumnya sama.
Kondisi tambahan kelebihan yang diberikan /dibayarkan disebut riba, jika:
- Tambahan tersebut dipersyaratkan dalam akad, biasanya oleh kreditur.
- Tambahan tersebut dijanjikan dalam akad, biasanya oleh kreditur
- Tambahan tersebut dikaitkan dengan tempo pembayaran kembali.
Penjelasan di atas disampaikan ustadz Ikhwan Abidin Basri di acaraPelatihan Dasar Perbankan Syariah, di Gedung Training Center, Bank Bukopin Syariah, Jl. Panglima Polim raya, Jakarta Selatan, Rabu (16/12/2015)
Dalam pelatihan yang diikuti perwakilan Bank Bukopin, Ustadz kelahiran Lamongan, Jawa Timur ini menjelaskan pentingnya memahami riba bagi ekonom syariah. “kedudukannya seperti membaca surat Al-Fatihah dalam Shalat,” tuturnya.
Menurut penulis “Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik” buruknya riba modern yang lebih kejam dibandingkan riba di zaman jahiliyah. Riba di zaman jahiliyah menetapkan tambahan dari pokok hutang setelah berlalu satu bulan. Jika dalam satu bulan bisa dilunasi maka tidak ada charge tambahan. Namun riba modern sudah sejak awal dibebankan tambahan. [PurWD/voa-islam.com]