View Full Version
Senin, 04 Jan 2016

Islam Bukan Budaya Arab (3-habis)

JAKARTA (voa-islam.com)- Lahirnya agama Islam di Tanah Arab bukan berarti memberikan stigma bahwa Islam itu adalah sama dengan budaya Arab. Sebelum Islam turun, Arab menjadi salah satu dari sekian daerah yang jahiliyahnya cukup tinggi, maka Allah mengutus nabi Muhammad. Di dalam menyampaikan kebenaran oleh nabi, banyak kalangan musyrik tidak menyukai. Mulailah muncul perlawanan-perlawanan atau kritik terhadap ajaran yang dibawa oleh rasulullah.

Sama dengan ajaran yang disampaikan, nabi pun mulau mengkritisi apa yang lazim dilakukan oleh masyarakat arab. Kemudian fungsi kritik itu terus meluas masuk ke negara-negara sekitarnya seperti Persia, Romawi, Cina dan akhirnya sampai ke Indonesia. Maka tidak ada pilihan lain bagi masyarakat atau budaya suatu bangsa, ketika Islam masuk ke sana, sementara mereka mengkui Islam sebagai agamanya, maka orang-orang disana harus siap untuk dikritik oleh Islam dan siap berubah dari seorang musyrik menjadi seorang muwahhid (orang yang bertauhid), apapun latar belakang budaya ataupun bangsanya.

Islam sesungguhnya memiliki konsep bagaimana berinteraksi dengan budaya-budaya di luar Islam. Islam mempersilahkan siapapun untuk mengemukakan pandangan-pandangan ataupun melakukan tindakan-tindakan budaya seperti apapun, asalkan tidak melanggar ketentuan halal-haram, pertimbangan mashlahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan), serta prinsip al Wala` (kecintaan yang hanya kepada Allah dan apa saja yang dicintai Allah) dan al Bara` (berlepas diri dan membenci dari apa saja yang dibenci oleh Allah), dimana ketiga prinsip inilah yang menjadi jati diri dan prinsip umat Islam yang tidak boleh diutak-atik dalam berinteraksi dengan budaya-budaya lain diluar Islam.

Sehingga dari ketiga prinsip ini akan lahir sebuah Kebudayaan Islam, dimana kebudayaan Islam ini selalu memiliki satu ciri khusus yang tidak dimiliki oleh budaya dan bangsa manapun diluar Islam, yakni budaya yang berasaskan Tauhidul `Ibadah Lillahi Wahdah (mempersembahkan segala bentuk peribadatan hanya kepada Allah). Demikian yang dikutip dari laman Ustadzah Irena Center, seorang mantan biarawati.

Selama prinsip-prinsip dan asas tersebut tidak dilanggar, maka kita dipersilahkan seluas-luasnya untuk berhubungan ataupun mengambil manfaat dari bangsa-bangsa dan budaya manapun di luar Islam. Sebab segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini, baik itu sifatnya ilmu pengetahuan maupun materi (yang selain perkara agama tentunya), itu semua memang diciptakan oleh Allah untuk kita umat manusia, kaum muslimin, walaupun berasal dari orang-orang kafir.

Sebagaimana firman Allah SWT: “Dialah (Allah), yang telah menciptakan segala yang ada dibumi ini untuk kalian…” (Q.S. Al Baqarah [2]: 29)

Maka sesungguhnya kedudukan budaya Arab itu sama dengan budaya Persia, Romawi, Melayu, Jawa dan sebagainya di mana budaya-budaya tersebut adalah pihak yang harus siap dikritik oleh Islam ketika Islam telah masuk ke negeri-negeri tersebut.

Maka tidak benar jika dikatakan Islam (seperti jilbab, kerudung dan sebagainya) adalah produk budaya Arab. Sebab justru budaya Arab adalah budaya yang paling pertama dikritik dan dikoreksi oleh Islam sebelum budaya-budaya yang lainnya. Maka apa saja yang telah diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai agama, maka itulah Islam.

Sementara segala sesuatu yang tidak diterangkan oleh Allah dan RasulNya dalam perkara agama, maka itu bukanlah Islam, meskipun perkara tersebut telah menjadi kebiasaan dan populer pada masyarakat Arab atau masyarakat Islam yang lainnya.

Sebab, Arab tidaklah sama dengan Islam, dan sebaliknya Islam tidaklah serupa dengan Arab. Akan tetapi budaya Arab dan budaya-budaya yang lainnya yang mau tunduk kepada Islam, maka itulah yang pantas dinamakan budaya Islam. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version