SOLO (voa-islam.com) – Mungkin banyak yang belum tahu, jika Ustadz Abu Bakar Ba’asyir memiliki jasa yang sangat besar bagi negara Indonesia. Jasa besar yang dimaksud tentu di luar aktivitas dakwahnya selama puluhan tahun yang malang melintang, lintas rezim, hinggal lintas negara.
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sosok ulama yang sangat peduli dengan nasib Warga Negara Indonesia (WNI), meskipun ia tak pernah bertemu atau mengenal sebelumnya.
Keselamatan seorang warga negara yang berada di negara lain, tentu menjadi tanggung jawab sebuah negara. Apabila seorang WNI mendapatkan perlakuan yang mengancam nyawanya, maka negara wajib hadir untuk menyelamatkannya dengan berbagai cara.
Hal itu sebagaimana yang pernah dialami oleh wartawan Metro TV, Meutya Hafid dan Budiyanto. Dua tahun pasca agresi militer Amerika Serikat atas Irak meletus, kedua wartawan tersebut melakukan peliputan ke daerah konflik. Tanpa diduga, mereka disandera oleh mujahidin yang menamakan diri Jaisyul Mujahidin di Irak, sejak 15 Februari 2005.
Pemerintah saat itu, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa melakukan berbagai upaya pembebesan sandera.
Dan tahukah kita, siapa diantara tokoh yang turut serta mengupayakan pembebasan kedua WNI tersebut? Salah satunya adalah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Akhirnya, setelah hampir satu minggu disandera, tepatnya selama kurang lebih 168 jam, kedua wartawan Metro TV itu dibebaskan oleh mujahidin.
Sejarah telah mencatat hal itu. Meutya Hafid sendiri dalam buku yang ditulisnya, berjudul “168 Jam dalam Sandera, Memoar Seorang Jurnalis Indonesia yang disandera di Irak” mengabadikan goresan pena Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di buku tersebut.
Media massa pun ikut mempublikasikan ucapan terima kasih pihak keluarga Meutya Hafid yang disampaikan ibundanya, Metty Hafid.
Ustadz Abdul Rochim Ba’asyir, putra bungsu Ustadz Ba’asyir, membenarkan hal tersebut. Ia pun kagum dengan ayahandanya yang begitu ikhlas membantu sesama.
Ia menceritakan, saat itu Ustadz Abu Bakar Ba’asyir diminta untuk memberikan imbauan agar para mujahidin di Irak, membebaskan dua wartawan Metro TV, Meutya Hafid dan Budiyanto. Meski tak mengenal keduanya sama sekali, Ustadz Ba’asyir yang saat itu menjadi Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), berbicara di depan media, agar membebaskan kedua WNI tersebut.
“Para sandera saat itu dibebaskan setelah melihat apa yang disiarkan oleh media, pernyataan beliau (Ustadz Abu Bakar Ba’asyir) yang meminta supaya mereka dibebaskan saja, karena mereka hanya wartawan, hanya cari berita biasa, ingin memberitakan kondisi negara anda. Begitu omongan beliau waktu itu,” kata Ustadz Abdul Rochim Ba’asyir, kepada Panjimas.com, Sabtu (2/4/2016).
Padahal, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir telah menjadi bulan-bulanan sejak rezim Orde Baru, hingga rezim Reformasi. Ia pun keluar masuk penjara berkali-kali.
Bahkan, hanya berjarak dua minggu, dari pembebasan dua WNI tersebut, tepatnya 3 Maret 2005, saat SBY berkuasa, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir diberi ‘hadiah’ vonis penjara 2,6 tahun penjara.
Kemudian, ketika SBY berkuasa untuk kedua kalinya, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang saat itu menjadi Amir Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), kembali ditangkap menjelang Ramadhan, tepatnya di Banjar Patroman, Ciamis, Jawa Barat, pada 9 Agustus 2010, usai berdakwah.
Ia kemudian divonis 15 tahun penjara di PN Jakarta Selatan atas tuduhan terlibat membantu i’dad di Aceh.
Kini, ketika Ustadz Abu Bakar Ba’asyir tengah mengupayakan proses Peninjauan Kembali (PK), ia dipenjara di sel Super Maximum Security (SMS), Lapas Pasir Putih Nusakambangan, Cilacap.
Kondisinya makin memprihatinkan dan sakit-sakitan di usianya yang telah renta. Ia tak boleh keluar dari sel yang diawasi ketat dengan CCTV selama 24 jam.
Bahkan untuk shalat Jum’at dan shalat berjamaah pun dilarang. Inikah balasan bagi ulama yang telah berjasa bagi negara? [aw/panjimas/voa-islam.com]