View Full Version
Kamis, 21 Jul 2016

Tradisi Kupatan Telah Terjadi Pergeseran Makna

KLATEN (voa-islam.com)--Beragam tradisi mewarnai perayaan Idul Fitri di Kota Solo dan sekitarnya. Umat muslim di Jawa biasanya melakukan tradisi Kupatan atau Lebaran kupat di tangal 8 bulan Syawal.

Kupatan digelar dalam rangka merayakan puasa Syawal selama enam hari yang menurut Hadits keutamaannya sama dengan puasa selama satu tahun penuh. Ironisnya saat ini tradisi kupatan mengalami pergeseran.

Di Klaten, Jawa Tengah ribuan warga dari berbagai daerah menghadiri perayaan Kupatan di bukit Sidoguro, Rowojombor, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat.

Puluhan gunungan ketupat diarak layaknya karnaval. Usai diarak ke puncak gunung, kupat didoakan dan setelah itu diperebutkan warga.

Ironisnya, usai menyantap ketupat tak ada penjelasan tentang sejarah dan makna tradisi Kupatan. Tradisi yang diwariskan para ulama di tanah Jawa itu justru didominasi dan ditutup dengan hiburan dangdut.

Ketua Panitia Kupatan Rowo Jombor Klaten, Bambang Sutejo mengaku telah menjadi ketua pengelenggra sejak tahun 2009. Namun ia mengaku tak tahu makna dari tradisi Kupatan.

Menurutnya perayaan tersebut adalah  perayaan karena telah sebulan berpuasa di bulan Ramadhan dan juga menjadi waktu untuk saling memaafkan.

Katanya, dibalik perayaan Kupatan, terdapat keuntungan yang menjanjikan. Terlebih saat ini tradisi itu tidak hanya digelar pada 8 Syawal, melainkan sejak 1 Syawal hingga 10 Syawal untuk mendongkrak wisata warung apung Rowo Jombor.

Ia menjelaskan, memasuki kawasan wisata warung apung pengunjung harus membayar tiket masuk Rp 5000 per orang. Selain itu itu pengunjung juga harus membayar  karcis parkir Rp 5000.  Ratusan hingga ribuan orang datang selama syawalan.

Ia memperkirakan perayaan syawalan ini kurang lebih dihadiri 5000 pengunjung.  Pendapatan mulai dari hari H lebaran sampai H+10 bisa sampai Rp 200 juta.

“Memang sudah terjadi pergeseran tradisi.  Tapi perayaan ini harus tetap dipertahankan perayaan ini juga memberikan keuntungan bagi warga,” tandas dia.

Pergeseran tradsi yang diwariskan para ulama itu juga dirasakan oleh Wahyu (51), warga Tegal Gondo, Wonosari Klaten.

Menurut Wahyu, dahulu Kupatan menjadi momen silaturahmi dan mendidik untuk menghormati tokoh Islam serta orang yang lebih tua. Warga berkumpul di rumah orang yang paling dituakan dikampung dan acara Kupatan dipimpin kiai atau ustadz. 

“Lebaran kupat juga menjadi momen untuk menanamkan adab. Biasanya silaturahmi kakek, paman atau saudara yang lebih tua sambil membawakan ketupat, sayur, dan lauk. Tapi sekarang tradisinya sudah bergeser. Orang cuma bikin ketupat tapi tidak tahu maksud dari tradisi itu,” ujar Wahyu.* [Aan/Syaf/voa-islam.com]

 

 


latestnews

View Full Version