JAKARTA (voa-islam.com) - Madrasah Ghazwul Fikri Mafatiha menyelenggarakan Halaqah IV dengan tema “Menyoal Fenomena Aliran dan Gerakan Kebatinan di Indonesia” di Gedung Menara Da’wah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di ruang diskusi Majelis Fatwa dan Pusat Kajian Dewan Da’wah lt. 6, Kramat Raya 45, Jakarta, Rabu (10/08) yang lalu.
Menghadirkan beberapa pemateri di antaranya, Heri Muhammad (Redaktur Utama Majalah Gatra), Artawijaya (Penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia, Menelusuri Jejak Aliran Kebatinan Yahudi Sejak Masa Hindia Belanda Hingga Era Reformasi”), Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum (Doktor Sejarah UI) dan Teten Romly Qomaruddien, MA (Mudir Madrasah Ghazwul Fikri Mafatiha).
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia memiliki badan yang khusus membahas permasalahan kontemporer dan kefatwaan, yaitu Majelis Fatwa dan Pusat Kajian, Madrasah Ghazwul Fikri Mafatiha adalah salah satu cabang dari badan tersebut yang memiliki peran khusus di bidang pemikiran.
Hadi Nur Ramadhan selaku moderator membuka acara mengungkapkan, berdasarkan penelitian yang ditemukan, sejak kemerdekaan sebanyak 300-400 aliran kebatinan langgeng sampai sekarang, yang menurut Tiar jika kepercayaan-kepercayaan itu meminta hak dijadikan sebuah agama pemerintah akan menemui kesulitan karena harus merombak sistem penting negara, seperti hari peringatan, varian pendidikan dan lain-lain.
Sedangkan dalam dokumen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata Heri Muhammad kepercayaan atau aliran kebatinan di Indonesia tercatat tidak sebagai agama, melainkan kebudayaan lokal.
Teten menyebut dalam makalahnya, bahwa agama samawi satu hanya satu gerakan kebatinan tidak dapat dianggap sebagai agama, karena dalam pandangan ulama kepercayaan yang bukan berasal dari langit tidak dapat dianggap sebuah agama.
“Dalam Islam, selama sebuah ajaran lahir dari bumi maka itu bukan agama, sedangkan ulama sepakat bahwa agama bumi itu tidak ada,” katanya.
Meskipun tidak dapat dianggap sebagai agama, Tiar menyatakan gerakan kebatinan di Indonesia masih sangat masif buktinya dapat dilihat dari perayaan-perayaan kedaerahan. Tiar menyorot salah satu gerakan kebatinan yang berasal dari Jawa Barat adalah Sunda Wiwitan.
Sunda Wiwitan menyebut diri mereka adalah Islam, kata Tiar, berdasarkan penelitian, Sunda Wiwitan adalah aliran kebatinan yang dulunya sudah pernah didakwahi tapi karena terisolisir sehingga proses islamisasi tidak sempurna. Buktinya mereka memiliki pemahaman Monoteisme (percaya satu tuhan).
“Dengan sebutan Batara Tunggal, artinya tuhan yang satu atau satu tuhan,” ujarnya seperti dilansir situs resmi dewandakwahjabar.
Sedangkan, lanjut Tiar, ada pun ahli yang berpendapat bahwa agama pertama di Indonesia adalah Animisme Dinamisme memiliki dua argumen. Pertama, ditemukannya situs-situs arkeologis atau artefak dankedua, adanya masyarakat primitif yang menurut Tiar bukti-bukti tersebut dapat dibantah dengan tidak ditemukannya keterangan lebih lanjut. Contohnya candi yang tidak ada catatan historis apakah bangunan tersebut digunakan sebagai ibadah atau digunakan aktifitas lainnya.
Menurut sejarah, Arta mengungkapkan, paham kebatinan di Indonesia didasari oleh Blavatsky, tokoh Thosofi yang tujuannya adalah mendamaikan semua agama, selte-sekte dan bangsa-bangsa di bawah satu etika umum, yang didasari pada kenyataan-kenyataan abadi. Theosofi mengedepankan persaudaraan universal, supremasi kemanusiaan dan pentingnya menjadikan nilai-nilai kebaikan sebagai titik temu semua agama.
Apa yang dilakukan theosofi berujung pada sinkreteisme teologi, yang kemudian memunculkan banyak istilah global, seperti; agama kemanusiaan, agama universal, agama budi, agama kebijaksanaan, persaudaraan universal, pluralisme, inklusifisme, perenialisme dan sebagainya yang pada akhirnya, sikap dan pemahaman sinkreteisme teologi itu terjerembab dalam paham netral agama. [syahid/voa-islam.com]
Madrasah Ghazwul Fikri Mafatiha menyelenggarakan Halaqah IV dengan tema “Menyoal Fenomena Aliran dan Gerakan Kebatinan di Indonesia” di Gedung Menara Da’wah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di ruang diskusi Majelis Fatwa dan Pusat Kajian Dewan Da’wah lt. 6, Kramat Raya 45, Jakarta, Rabu (10/8/2016).
Menghadirkan beberapa pemateri di antaranya, Heri Muhammad (Redaktur Utama Majalah Gatra), Artawijaya (Penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia, Menelusuri Jejak Aliran Kebatinan Yahudi Sejak Masa Hindia Belanda Hingga Era Reformasi”), Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum (Doktor Sejarah UI) dan Teten Romly Qomaruddien, MA (Mudir Madrasah Ghazwul Fikri Mafatiha).
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia memiliki badan yang khusus membahas permasalahan kontemporer dan kefatwaan, yaitu Majelis Fatwa dan Pusat Kajian, Madrasah Ghazwul Fikri Mafatiha adalah salah satu cabang dari badan tersebut yang memiliki peran khusus di bidang pemikiran.
Hadi Nur Ramadhan selaku moderator membuka acara mengungkapkan, berdasarkan penelitian yang ditemukan, sejak kemerdekaan sebanyak 300-400 aliran kebatinan langgeng sampai sekarang, yang menurut Tiar jika kepercayaan-kepercayaan itu meminta hak dijadikan sebuah agama pemerintah akan menemui kesulitan karena harus merombak sistem penting negara, seperti hari peringatan, varian pendidikan dan lain-lain.
Sedangkan dalam dokumen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata Heri Muhammad kepercayaan atau aliran kebatinan di Indonesia tercatat tidak sebagai agama, melainkan kebudayaan lokal.
Teten menyebut dalam makalahnya, bahwa agama samawi satu hanya satu gerakan kebatinan tidak dapat dianggap sebagai agama, karena dalam pandangan ulama kepercayaan yang bukan berasal dari langit tidak dapat dianggap sebuah agama.
“Dalam Islam, selama sebuah ajaran lahir dari bumi maka itu bukan agama, sedangkan ulama sepakat bahwa agama bumi itu tidak ada,” katanya.
Meskipun tidak dapat dianggap sebagai agama, Tiar menyatakan gerakan kebatinan di Indonesia masih sangat masif buktinya dapat dilihat dari perayaan-perayaan kedaerahan. Tiar menyorot salah satu gerakan kebatinan yang berasal dari Jawa Barat adalah Sunda Wiwitan.
Sunda Wiwitan menyebut diri mereka adalah Islam, kata Tiar, berdasarkan penelitian, Sunda Wiwitan adalah aliran kebatinan yang dulunya sudah pernah didakwahi tapi karena terisolisir sehingga proses islamisasi tidak sempurna. Buktinya mereka memiliki pemahaman Monoteisme (percaya satu tuhan).
“Dengan sebutan Batara Tunggal, artinya tuhan yang satu atau satu tuhan,” ujarnya.
Sedangkan, lanjut Tiar, ada pun ahli yang berpendapat bahwa agama pertama di Indonesia adalah Animisme Dinamisme memiliki dua argumen. Pertama, ditemukannya situs-situs arkeologis atau artefak dankedua, adanya masyarakat primitif yang menurut Tiar bukti-bukti tersebut dapat dibantah dengan tidak ditemukannya keterangan lebih lanjut. Contohnya candi yang tidak ada catatan historis apakah bangunan tersebut digunakan sebagai ibadah atau digunakan aktifitas lainnya.
Menurut sejarah, Arta mengungkapkan, paham kebatinan di Indonesia didasari oleh Blavatsky, tokoh Thosofi yang tujuannya adalah mendamaikan semua agama, selte-sekte dan bangsa-bangsa di bawah satu etika umum, yang didasari pada kenyataan-kenyataan abadi. Theosofi mengedepankan persaudaraan universal, supremasi kemanusiaan dan pentingnya menjadikan nilai-nilai kebaikan sebagai titik temu semua agama. Apa yang dilakukan theosofi berujung pada sinkreteisme teologi, yang kemudian memunculkan banyak istilah global, seperti; agama kemanusiaan, agama universal, agama budi, agama kebijaksanaan, persaudaraan universal, pluralisme, inklusifisme, perenialisme dan sebagainya yang pada akhirnya, sikap dan pemahaman sinkreteisme teologi itu terjerembab dalam paham netral agama.***tamam/dewandakwah.or.id/am