JAKARTA (voa-islam.com)--Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Cholil Nafis mengatakan bahwa tidak masalah membahas isu suku, agama, ras dan golongan (SARA) dalam ranah sosial-politik selama tidak mengarah provokasi merendahkan entitas lain.
"Melibatkan keyakinan agama, bahkan suku dalam ranah politik adalah hal yang wajar dan sah asalkan tidak merendahkan atau menistakan agama dan suku lain," kata Kyai Cholil dalam pernyataan terbukanya di media sosial, Kamis (20/10/2016).
Bahkan, lanjut Kiyai Cholil, seseorang dianjurkan bertindak sesuai keyakinannya dan nilai yang dianutnya. "Menyerukan untuk meninggalkan SARA secara total dalam ranah politik adalah "pembunuhan" terhadap esensi keberagamaan," jelasnya.
Seyogyanya, menurut Kiyai Cholil, SARA menjadi perekat antar masyarakat. Sebab, kesadaran diri bahwa perbedaan SARA adalah realitas dan keniscayaan.
"Karenanya kita saling mengerti dan toleransi bukan saling menyerang utk menistakan dan menafikan SARA yang lain," ucapnya.
Kiyai Cholil sebelumnya menjelaskan bahwa ada tiga hal yang memancing umat Islam marah, pertama hinaan terhadap Allah, hinaam terhadap Rasulullah saw,dan hinaan terhadap al-Qur'an.
"Realitanya mereka yg menghina salah satu dari 3 itu hidupnya terhinakan," bebernya.
Sambung Kiyai Cholil, agama sebenarnya membawa kedamaian, tetapi menjadi konflik karena ada campur tangan politik, ekonomi, ambisi pribadi atau kelompok. Karena agamalah yang paling mudah untuk nenjadi "bahan bakar" penyulut orang untuk bergerak bahkan hingga rela untuk mati.
"Jadi umat Islam bergerak ketika merasa agamanya dinistakan adalah bagian dari ketulusan hati. Meskipun tak tahu masalah dan latarbelakang mengapa al-Qur'an dihina. Namun banyak orang yg salah paham bahwa "cemburu" untuk memuliakan agama dianggap terlibat dalam masalah politik, ekonomi dan sosial," tegasnya.* [Bilal/Syaf/voa-islam.com]