JAKARTA (voa-islam.com)-- Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Cholil Nafis mengatakan setiap pemeluk agama dan suku atau ras tentu nya berharap dipimpin oleh seorang pemimpin yang satu agama, satu suku atau pun satu ras.
Menurut Kyai Cholil, sekarang ini dikit-dikit SARA. Kita tidak boleh bicara suku, agama dan adat istiadat kita. Padahal yang dimaksud SARA adalah ketika melukai orang lain.
"Sesuatu yang lumrah, jika orang Sumatera ingin punya pemimpin orang Sumatera. Itu logis. Yang penting, jangan orang Sumatera menjelek-jelekkan orang Jawa dan suku lainnya. Itu yang tidak boleh," kata Kyai Cholil saat bersilaturrahim dengan jurnalis-jurnalis Muslim di Kantor MUI Pusat, Jakarta beberapa waktu.
Kata Kyai Cholil, yang tidak boleh adalah menjelek-jeleknya agama, suku atas ras tertentu. "Saya orang Madura, lalu menjelek-jelekkan orang Sumatera dan jawa. Saya orang Madura ingin punya pemimpin orang Madura, itu sah saja saja. Atau saya muslim, ingin dipimpin oleh seorang muslim,” terang Kyai Cholil.
Kyai Cholil melanjutkan, "Begitu juga orang Kristen ingin dipimpin oleh orang Kristen, dan itu sah. Yang tidak boleh adalah, orang Islam menjelek-jelekkan Kristen dan Katolik atau sebaliknya. Tapi dalam rangka membangun bangsa, SARA dalam artian, saya orang Madura ingin punya pemimpin asal Madura, itu tidak masalah."
Kyai Cholil mengaku heran dengan sikap over sebagian masyarakat yang selalu mengaitkan sesuatu dengan isu SARA.
“Sekarang ini banyak yang over, dikit-dikit kalau ngomong agama dan suku dianggap SARA. Yang harus dipagari adalah jangan sampai perbedaan itu menjadi pangkal konflik. Tapi menghilangkan perbedaan yang asasi, itu mengingkari kenyataan. Dalam konteks kebangsaan, kita punya agama dan suku yang berbeda, tapi jangan saling berbenturan, dan saling menjelek-jelekkan,” papar dia.
Kyai Cholil menegaskan, menyembah Allah tidak boleh mencaci dan merendahkan orang yang menyembah selain Allah. Juga jangan mencaci tuhan-tuhan mereka, karena nanti mereka akan mencaci Tuhan kita.
“Kalau kita mencaci bapak mereka, maka mereka akan membalas mencaci bapak kita. Karena itu jangan mencaci maki dan menyombongkan diri," terang dia.
Kyai Cholil melanjutkan, "Kalau ada yang bertanya, apakah kita boleh bangga dengan suku kita? Tentu kita boleh bangga dengan asal usul kita. Sebab, kalau kita tidak punya kebanggaan akan hampa. Yang tidak boleh adalah menyombongkan diri dan menistakan orang lain.”
Nah, batasan SARA seperti dijelaskan KH. Cholil, tidak menyebabkan diri kita hilang habitat, akar, dan kepribadiannya, juga tidak tercerabut dari agama, suku, dan adat istiadatnya. * [Syaf/voa-islam.com]