JAKARTA (voa-islam.com)- “Kalau saya dalam aksi ini mati, Insyaallah mati syahid”. Kata-kata itulah yang membuat kakek 78 tahun ini nekat berangkat.
Bagi muslim sejati, syahid khususnya diingikan. Dimanapun terjadi dan apapun kondisinya atas agama Islam, maka seorang muslim insya Allah akan senantiasa "menjual dirinya" kepada Allah, Sang Pemilik.
Namanya Djubaidi Basri. Salah satu warga yang ikut bergabung dalam aksi 4 November 2016 yang menuntut Ahok “Penista Agama” untuk diproses hukum.
Saya kenal kakek Djubaidi secara tak sengaja. Selepas shalat Jumat, saya berniat berangkat aksi. Berangkat seorang diri. Saya berencana memarkir kendaraan di kantor PP Muhammadiyah untuk selanjutnya ikut berjalan ke Monas atau Istana Merdeka. Sampai depan kantor itulah saya berjumpa dengan beliau.
“Mas, tolong saya sudah tidak kuat,” katanya dengan wajah lelah. Lalu saya tanya rombongan dari mana. Beliau menjawab dari Sukoharjo. Jawaban itu kurang jelas. Tapi karena sudah sempoyongan, saya biarkan saja membonceng motor, beliau minta diantar ke rumahnya. Rupanya beliau hafal jalan-jalan Jakarta.
Saya jalan terus sambil beliau kasih aba-aba, “Kanan, kiri, kanan kiri”. Demikian seperti yang dikutip dari wasathon.com, kemarin.
Sekira, 30 menit kemudian akhirnya sampai di rumahnya. Di dekat masjid Mujahidin, Menteng Atas. Lokasi yang memang dekat dengan “Jalan Suhardjo” Tebet, Jakarta Selatan.
Saya akhirnya malah beberapa lama ngobrol dengan beliau di rumahnya. Djubaidi Basri, beliau lelaki kelahiran Kauman, Jogjakarta, belakang Masjid Agung. Tapi sejak tahun 1971 sudah merantau ke Jakarta. Layaknya orang tua, beliau bercerita tentang masa lalunya yang hidup sederhana, bahkan sering kekurangan.
Tapi akhirnya berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi dan bisa bekerja di beragam profesi sehingga hidupnya layak.
Sebelum pensiun beliau bekerja di Kantor Urusan Haji, Departemen Agama. “Tapi jangan bayangkan kerja di situ enak Mas, saya dulu gaji sebulan hanya cukup untuk makan 3 hari” ujarnya.
Untuk membiayai kesembilan anaknya, harus banting tulang, salah satunya dengan berjualan beras. Seperti yang pernah dilakukannya bersama istri di pasar Beringhardjo, Jogjakarta dahulu.
Alhamdulillah, anak-anaknya akhirnya bisa lulus dari beberapa kampus Jakarta seperti Universitas Mustopo, Tarumanegara, Borobudur dan Usahid. Dan kini semua anak-anaknya sudah bekerja, diantaranya di Dephud, Depag, Urusan Haji dan swasta.
Di masa susah itu, beliau selalu teringat H. Amidhan yang pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. “Saya kalau dulu tak punya uang sering ngebon sama beliau Mas” katanya. Ya, beliau dulu memang staf dari H Amidhan selama bekerja di Kantor Urusan Haji itu.
Kedatangannya ke aksi bela Islam, aksi bela Al-Quran, salah satunya juga dalam rangka silaturahmi dengan mantan atasannya yang baik hati itu. Sayangnya, niat itu diurungkannya setelah melihat sendiri massa yang begitu besar di lokasi aksi, yang membuatnya berpikir sangat susah bisa menemui tokoh itu.
Di sela-sela beliau cerita sang istri, Suhermi menimpali “Saya sudah larang bapak ikut aksi, tapi bapak diam-diam ikutan rombongan 3 bus dari sini” ungkapnya.
Mendengar ungkapan istri itu, beliau hanya senyum-senyum sambil bilang, “Kalau saya dalam aksi ini mati, Insyaallah mati syahid”.
Hati saya trenyuh. Hari ini saya banyak belajar kepada Pak Djubaidi. Kakek 78 tahun yang sudah menunaikan ibadah haji 3 kali ini begitu semangatnya untuk membela Islam sesuai dengan pemahaman yang diyakininya.
Tak peduli ajal menjemput, beliau tetap datang. Tentu saja sebuah tamparan keras buat saya dan mungkin generasi muda Islam lainnya. Yang kerap mengeluh hanya karena misalnya tersengat sinar matahari yang sedikit saja.
Hari ini, saya benar-benar belajar banyak kepada beliau. Menyimpan cerita yang penuh hikmah ini saya bergegas mohon pamit kepada beliau dan memacu kendaraan menuju lokasi aksi kembali. Kakek Djubaidi. Terimakasih, kata-kata ini, “Kalau saya dalam aksi ini mati, Insyaallah mati syahid”.
Benar-benar membekas sebagai tamparaan keras. Hari ini saya benar-benar malu dengan semangatnya.
Saya kini hanya bisa berdoa. Kebaikan untuk beliau selalu datang dari segala arah. Semoga. (Robi/voa-islam.com)