JAKARTA (voa-islam.com)--Ketua Majelis Tarjid dan Tajdid Muhammadiyah, Syamsul Anwar mengungkapkan bahwa Muhammadiyah merasa perlu membuat sebuah kitab Tafsir, karena kehidupan itu sendiri. sebuah proses penafsiran
"Hidup kita adalah sebuah tafsir, contoh ketika kita melihat awan bergumpal, jadi peristiwa kita membawa payung itu adalah sebuah penafsiran. Semua dalam hidup kita adalah tafsir, tentu saja termasuk kitab suci sebagai objek penafsiran," katanya saat sambutan Launching Tafsir At-Tanwir, di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (13/12/2016).
Muhammadiyah, lanjutnya, sudah membuat kitab tafsir sejak Indonesia belum merdeka. Muhammadiyah juga pernah membuat tafsir Hubungan Antar Umat Beragama, sebuah tafsir yang kontroversial, "Karena yang membuatnya juga tokoh kontroversial," cetusnya.
Kemudian, Muhammadiyah berinisiatif membuat kitab tafsir baru yaitu Tafsir At-Tanwir. Pembuatan tafsir At-Tanwir adalah upaya kolektif ketiga yang dilakukan Muhammadiyah.
Rencananya, tafsir At-Tanwir akan dikerjakan selama 50 tahun menyesuaikan penulisan tafsir tersebut di majalah Suara Muhammadiyah yang terbit dua minggu sekali.
"Dihitung-hitung ternyata selesai selama 50 tahun. Maka kita percepat selama 7 tahun," ucap Syamsul.
Menurut Syamsul, Tafsir At-Tanwir memiliki ciri khas responsif terhadap masalah kehidupan masyarakat. "Jadi masalah-masalah sosial kita respon dengan penafsiran al-Quran," jelasnya.
Syamsul juga menjelaskan lebih dalam terkait apa yang dimaksud dengan membangun etos dalam tafsir At-Tanwir. Pertama etos keilmuan, ide ini muncul terinsiprasi dari fakta sejarah bahwa umat Islam dahulu bangkit saat mengembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga, tafsir At-Tanwir banyak menyinggung hubungan ilmu pengetahuan dengan al-Quran.
"Tafsir ini dapat menggerakkan kita membangkitkan ilmu pengetahuan," katanya.
Kedua etos ekonomi atau kerja, Muhammadiyah menilai umat Islam tidak akan maju tanpa kemajuan ekonomi. Tafsir ini juga menggerakkan umat untuk membangkitkan ekonominya baik pada individu warga Muhammadiyah atau gerakan Muhammadiyah itu sendiri.
Syamsul menjelaskan bahwa banyak istilah-istilah theologi dalam al Quran berasal dari bahasa ekonomi, seperti pahala yang dalam bahasa arab ajrun yang artinya upah. Jadi dari kata upah itu digunakan menjadi konsep theologi yaitu pahala. Jadi hubungan ekonomi dengan Islam itu sangat erat. "Sehingga perlu penekanan agar kita memperhatikan masalah ekonomi," terangnya.
Ketiga, tafsir At-Tanwir mencoba membangun keseimbangan pandangan dunia dan akhirat. Karena dalam teologi sufi dunia itu tidak penting karena hanya bayang-bayang. Dunia tidak perlu dikejar yang dikejar cukup tuhan.
Maka, dibuat konsep keseimbangan dengan istilah teologi afirmatif, bahwa dunia ini adalah rahmat Allah. Teologi yang tidak meninggalkan dunia.
"Karena keberhasilan kita diakhirat bergantung keberhasilan di dunia, Allah tidak melarang mengejar dunia, tapi yang dilarangan adalah lalai kepada Allah saat mengejar dunia," ungkapnya.
Selain itu, intinya Muhammadiyah ingin membuat tafsir yang unik dan berbeda dari yang sudah ada. Kendati demikian, Terjemahan dalam kitab tafsir At-Tanwir tetap menggunakan tafsir Kemenag agar tidak membingungkan masyarakat.
"Kecuali, pada ayat-ayat tertentu yang perlu diubah terjemahnya," tandas Syamsul. * [Bilal/Syaf/voa-islam.com]