JAKARTA (voa-islam.com)--Ketua PB Al Washliyah, Ahmad Doli Kurnia menilai Aksi Simpatik 55 sebagai wujud kedewasaan umat Islam Indonesia.
"Aksi Bela Islam 4 atau yang disebut Aksi Simpatik Ummat Islam 505 yang dilakukan kemarin merupakan puncak dari betapa ummat Islam sangat berjiwa besar serta mencintai NKRI dengan semua sistem kenegaraan yang berlaku," kata Doli dalam keterangannya kepada Voa Islam, Sabtu (6/5/2017).
Menurut Doli, dalam aksi tersebut ada dua aktivitas penting dan bermakna yang perlu dicermati. Pertama, aktivitas ritual shalat jumat berjamaah yang dilanjutkan do'a dan dzikir sebagai bentuk bermunajat atau bermohonnya ummat Islam agar proses hukum terhadap terdakwa penista agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diberi keputusan yang terbaik dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
"Melalui hakim perkara ini dapat diputuskan dengan seadil-adilnya pada Sidang Selasa, 9 Mei besok," ujarnya.
Kedua, lanjut Doli, peserta aksi dengan sengaja mengirimkan delegasi untuk menemui pimpinan MA agar memberikan dukungan terhadap institusi penegak hukum tersebut agar bisa ikut menciptakan kondisi yang kondusif bagi proses persidangan. Utamanya, bagi para hakim untuk bisa tetap independen, imparsial, serta bebas dari intervensi pihak manapun.
"Secara teknis hukum, ummat Islam hanya meminta hakim dapat menyimpulkan dan memutuskan berdasarkan fakta-fakta persidangan yang selama ini digelar dan terbuka diketahui oleh publik," jelasnya.
Pimpinan MUI, NU, Muhammadiyah, ahli agama, ahli bahasa, serta ahli terkait lainnya telah menyampaikan pandangannya terhadap penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Bahkan, sehari sebelumnya delegasi juga telah mendatangi Ketua Komisi Yudisial menyampaikan harapan yang sama untuk ikut mengawasi hakim agar tetap berada pada posisi mempertimbangkan rasa keadilan, hati nurani, peraturan perundangan yang berlaku, di dalam mengambil keputusan.
"Bukan berdasarkan tekanan, intimidasi, apalagi intervensi pihak manapun termasuk kekuasaan. Itu semua adalah bentuk dari apresiasi serta masih adanya kepercayaan yang kuat dari ummat Islam terhadap sistem hukum di Indonesia," tegas politisi Golkar itu.
Atas peristiwa itu, sambung Doli, ia ingin tegaskan bahwa benar dan tidak bisa dibantah, ummat Islam tersinggung dan marah agamanya dinistakan, kitab sucinya dilecehkan, ulamanya diremehkan dan dihina.
Kemudian, lontarnya, benar dan tidak bisa dibantah bahwa ummat Islam turun aksi untuk membela agamanya, kitab sucinya, dan ulamanya. Serta, benar dan tidak bisa dibantah bahwa ummat Islam tegas untuk menjaga wibawa, harkat dan martabat agamanya, kitabnya, dan ulamanya.
Umat Islam juga telah menunjukkan tekadnya untuk ikut tetap menjaga wibawa, harkat dan martabat Indonesia sebagai Negara Hukum. Berjalannya sistem hukum, serta penegakan hukum di Indonesia, dengan tidak boleh membiarkan hukum di Indonesia kalah dengan kepentingan satu atau sekelompok orang yang ingin memporak porandakan hukum dan keadilan dengan kepentingan mereka.
"Bila Surat Edaran Ketua MA no. 11 tahun 1964 meminta kepada hakim untuk memberikan hukuman yang berat terhadap seorang penista agama; dan kalau sudah ada 10 penista agama sebelumnya yang tidak bebas dan dihukum setimpal, maka kali ini dan ke depan tidak boleh ada yang bebas dari hukuman," kata Doli.
Bila hal itu terjadi, cetus Doli, maka bukan saja MUI, NU, dan Muhammadiyah yang mengalami delegitimasi. Namun Indonesia sebagai Negara Hukum pun ikut ter-delegitimasi.
"Hukum kehilangan wibawa, harkat dan martabatnya di mata rakyat dan dunia," tandasnya. * [Bilal/Syaf/voa-islam.com]