JAKARTA (voa-islam.com)--Komunitas Sarjana Uukim Musim Indonesia (KSHUMI) mengkritik penetapan Habib Rizieq Syihab (HRS) sebagai tersangka dalam dugaan kasus pornografi terkait chat atau percakapan melalui sosial media dengan Firza Husein (FH).
Habib dijerat dengan Pasal 4 Ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 6 juncto Pasal 32 dan Pasal 9 juncto Pasal 35 UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
"Bukti yang digunakan oleh penyidik adalah chat yang diduga berkonten pornografi. Bukti foto dengan tampilan screenshot yang diduga merupakan percakapan antara HRS dan FH tersebut telah dibantah dengan tegas oleh yang bersangkutan dan dinyatakan merupakan rekayasa fitnah untuk menjatuhkan martabat dan membunuh karakter HRS," kata Ketua Eksekutif Nasional KSHUMI, Chandra Purna Irawan,MH. dalam keterangan yang diterima Voa Islam, Sabtu (3/6/2017).
KSHUMI melihat tidak diketemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum atau dasar perbuatan yang menjadi akar jatuhnya status tersangka HRS.
"Jika chatting itu dianggap sebagai tindak pidana, maka itu tidak ada dasar hukumnya karena chatting itu tidak masuk ke ranah publik," ujar Chandra.
Kemudian soal chat WA, lanjut Chandra, Jika chat yang dituduhkan polisi dilakukan dengan telepon genggam atau gadget pribadi. Maka, dalam hukum pidana itu tidak dilarang.
"Apapun isi chatting dan dengan siapapun itu, tidak ada masalah sejauh kedua belah pihak sama-sama menerima dan tidak menimbulkan permasalahan atau salah satu pihak merasa dirugikan," jelasnya.
Lalu soal alasan pornografi, Chandra menegaskan bahwa Konten pornografi jika berada di dalam ranah pribadi seseorang, dan tidak disebarluaskan, baik pada saat melakukan ataupun setelahnya dengan diawali merekam. Maka tidak dapat dijerat hukum pidana apapun.
"Jika konten yang diduga pornografi itu berada di HP seseorang dan dibuka, maka yang salah adalah pihak yang membuka dan menuduh pornografi itu,"tuturnya.
Selanjutnya, katanya lagi, soal pemanggilan HRS hingga menjadi tersangka. Berdasarkan alasan pertama, kedua dan ketiga diatas, maka jangankan jadi tersangka, dipanggil menjadi saksi saja HRS tidak layak.
"Hal itu bisa benar jika FH mengakui, sementara sejak awal FH dan HRS membantah hal tersebut," tegasnya.
Terakhir, soal alat Bukti; Chandra menjelaskan bahwa dalam penetapan HRS sebagai tersangka, kelengkapan syarat adanya bukti permulaan yang cukup untuk menjerat seorang saksi menjadi tersangka belum terpenuhi.
Dalam hukum pidana, penetapan seseorang sebagai tersangka haruslah melalui prosedur dan tahapan yang itu sudah ada pengaturannya dengan minimal dua alat bukti yang sah, terakhir putusan MK harus disertai dengan legalitas cara memperolah alat bukti tersebut. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, frasa "bukti", "bukti permulaan", "alat bukti", dianggap sama dan dimaknai dengan minimal dua alat bukti.
"Dalam hal ini yang menjadi minimal dua alat bukti untuk dapat digunakan dalam penetapan tersangka harus diperoleh dalam hal dan menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang,"ucapnya.
Sementara, sambung Chandra, putusan Mahkamah Konstitusi No.20/PUU-XIV/2016 dinyatakan, penyadapan yang dilakukan tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh undang-undang adalah tidak dibenarkan, supaya tidak terjadi pelanggaran HAM sebagaimana telah dijamin UUD 1945.
"Penyidik dalam hal ini telah menggunakan alat bukti rekaman yang diduga milik FH, dan foto percakapan yang diduga melibatkan HRS secara tidak sah (ilegal), maka telah nyata adanya pelanggaran terhadap due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut negara Indonesia," papar Chandra. * [Bilal/Syaf/voa-islam.com]