JAKARTA (voa-islam.com), Konflik di Marawi, Filipina Selatan antara Pemerintah Filipina dan gerilyawan Maute afiliasi ISIS tidak kunjung usai.
Kemudian, mencuat wacana kemungkinan kehadiran militer Indonesia untuk membantu pemerintah Fhilipina dalam menghadapi kelompok Maute di Marawi.
Pengamat Terorisme Harits Abu Ulya, mengungkap sejumlah analisa latar belakang, proses dan dampak domestik keterlibatan tersebut.
"Saya mengamati militer Fhilipina belum sepenuhnya bisa menguasai Marawi, dan ini menjadi faktor penting untuk evaluasi. Pilihan operasi militer masih terus berlangsung untuk kembali menguasai Marawi," katanya dalam keterangannya kepada voa-islam.com, Sabtu Malam (24/6/2017)
Dan saat ini, lanjut Harits, kerjasama trilateral antara Indonesia-Filipina-Malaysia menjaga perbatasan, paling memungkinkan untuk bisa berjalan implementasinya lebih awal.
Harits berpendapat bahwa hitung-hitungan kekuatan militer, Indonesia memang diatas militer Filipina. Kekuatan militer Filipina jauh di bawah Indonesia. Selama ini mereka bergantung sekali kepada AS, dan efeknya membuat perkembangannya lambat.
"Baru di era Duterte saat ini, mereka mulai membangun militernya.
Alutsista udara, darat, laut juga lumayan tertinggal,"bebernya
Contohnya, imbuh Harits, Filipina belum punya fighter untuk AU, belum punya fregat untuk AL dan tank. artillerynya masih memakai produk tahun 70an, bahkan 60an. Baru-baru ini, terkait konflik Marawi, AS membantu 300an pucuk senjata kepada militer Filipina.
"Ini fakta, berbeda dengan Indonesia yang sudah mengadopsi persenjataan dengan teknologi kekinian,"jelasnya.
Di lain sisi, sambung Harits, kelompok Maute yang menjadi lawan Filipina lumayan mapan dalam segi senjata, pers dan penguasaan medan.
"Ini menjadi faktor yang bisa dimengerti, kenapa Duterte berharap militer Indonesia terlibat membantu. Tapi keterlibatan militer Indonesia harus ada keputusan politik dari presiden Indonesia, begitupun keputusan politik pihak Filipina, ada presiden, ada konggres, ada rakyat,"ungkapnya.
Dan Harits berharap, jikapun dari pihak Filipina sudah memberi lampu hijau, maka keputusan Indonesia untuk terlibat perlu didasarkan kajian yang mendalam tentang segala aspek baik politik, sosial, ekonomi dan hal strategis lainnya.
"Mengingat militer Indonesia hendak terlibat perang di wilayah negara lain yang berdaulat," cetusnya.
Soal terorisme yang dilabelkan kepada kelompok Maute, Harits merasa tidak kemudian serta merta menjadikan Indonesia menutup mata untuk mengiyakan semua order operasi militer di Marawi.
"Jangan lupa, munculnya konflik di Marawi juga residu dari konflik panjang dari masyarakat minoritas muslim dikawasan Mindanau terhadap pemerintah pusat Filipina. Soal afiliasi sebagian faksi perlawanan ASG (Abu Sayyaf Group) di Mindanau dengan ISIS adalah isu belakangan," terangnya.
Oleh karena itu, Harits menegaskan, pemerintah Indonesia perlu hati-hati dan cermat. Jangan sampai Indonesia tanpa sadar terseret konflik berkepanjangan di kawasan Asia Tenggara yang sejak lama dikehendaki kekuatan global dengan kepentingan strategis dibaliknya.
Dalam konteks domestik, katanya lagi, bisa saja keterlibatan militer Indonesia akan memberikan dampak psikologis terhadap kelompok-kelompok pendukung ISIS di Indonesia, dengan menjadikan aparat TNI di daftar atas sebagai target teror seperti halnya aparat kepolisian.
"Saya pikir, ada kompleksitas kepentingan dan efek didalamnya yang perlu dipertimbangkan dengan masak oleh pemerintah Indonesia," pungkasnya. (Bilal)