SOLO (voa-islam.com)-- Film Dokumenter Toedjoeh Kata diputar di Solo, Jawa Tengah. Film ini kembali membuka tabir penghapusan Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya pada sila pertama Pancasila. Pemutaran film ini dihadiri ratusan umat muslim dari kota Solo dan sekitarnya, Sabtu (19/8/2017) di Masjid MUI Kota Surakarta.
Pemutaran film ‘Toedjoeh Kata’ merupakan kerjasama Muhammadiyah Multimedia Kine Klub (MMKK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surakarta.
Film 'Toedjoeh Kata' mengisahakan para pendiri bangsa bersepakat menjadikan Islam sebagai dasar negara. Hal ini tertuang pada sila pertama Pancasila yang termuat dalam Piagam Jakarta, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya.”
Ironisnya, tujuh kata dalam sila tersebut di hapus menjadi Ketuhanan yang Maha Esa’ atas desakan Sukarno dari kalangan Nasionalis. Sukarno saat itu memanfaatkan Kasman Singodimejo untuk membujuk Ki Bagus Hadi Kusumo tokoh Muhammdiyah yang kukuh mempertahankan tujuh kata tersebut dalam sila pertama Pancasila. Kasman mau menjadi perantara lantaran Soekarno menjanjikan bahwa kelak tujuh kata tersebut akan dikembalikan dalam sila pertama Pancasila jika kondisi negara telah aman.
"Hilangnya tujuh kata tentang syariat dalam waktu sangat cepat itu melanggar kesepakatan pendiri bangsa pada rapat BPUPKI. Ini terjadi tanggal 18 Agustus 1945," ujar perwakilan MMKK UMY Dimas Widiarto
Akhirnya dengan kebesaran hati, Ki Bagus Hadi Kusumo menerima penghapusan tujuh kata tersebut dengan ketentuan bahwa sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah konsep tauhid Laa illah ha illallah.
Hal yang sama juga dikemukakan Perdana Menteri Republik Indonesia pertama Mohammad Natsir. Tokoh yang kemudian hari menjadi pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu berpesan bahwa menyambut 17 Agustus umat Islam mengucapkan tahmid, 18 Agustus mengucapkan istighfar. Sehingga umat Islam tidak akan pernah lupa dengan penghapusan tujuh kata dan kembali berjuang mengembalikannya.
Adegan yang menyayat hati juag disuguhkan dalam film ini. Kasman yang dimanfaatkan Soekarno untuk membujuk Ki Bagus Hadi Kusumo menyesal dalam hidupnya. Ia tak menyangka jika janji Soekarno tak kunjung dipenuhi. Hingga tiga puluh tahun hidupnya Kasman selalu meneteskan air mata tiap kali mengingat kesalahannya merelakan tujuh kata untuk dihapus.
Dimas Widiarto mengatakan, film tersebut dapat mengedukasi masyarakat memahami pengorbanan besar umat Islam untuk bangsa. Paslanya saat ini umat Islam justru menjadi sasaran kebencian dan dianggap intoleran.
”Peran dan pengorbanan umat Islam untuk negeri ini sangat besar. Bahkan merelakan penghapusan tujuh kata, tapi sebaliknya umat Islam justru dianggap sebagai intoleran," pungkasnya.
Sementara itu, Sekjen DSKS Suwondo mengatakan diselenggarakannya kegiatan ini bertujuan mengungkap kembali sejarah yang telah terlupakan. Ia menilai saat ini banyak yang merasa paling pancasilais dan berjasa untuk Indonesia. Suwondo menambahkan, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari perjuangan bahkan tetesan darah ulama dan kaum santri.
"Sejarah harus diungkap agar semua memahami hakekat berdirinya Negera Indonesia. Sebab, saat ini banyak yang merasa paling berjasa untuk Indonesia, merasa paling faham kebinekaan dan paling faham tentang patriotisme berani mendeskreditkan Islam. Padahal mereka tidak punya andil sama sekali dalam mendirikan negara ini," ujarnya. * [Aan/Syaf/voa-islam.com]