BEKASI (voa-islam.com)--Beberapa pihak berupaya meminta kepada pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi dan rehabiltasi para pelaku pemberontakan eks Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak hanya itu, mereka juga meminta pemerintah meminta maaf kepada eks anggota PKI.
Menurut mereka sejarah tentang pengkhianatan PKI adalah kebohongan. PKI disebut menjadi korban. Mereka mengklaim peristiwa PKI yang terjadi di Indonesia dari tahun 1926, 1948, 1960 hingga 1965, tidak membantai umat Islam.
Namun, fakta-fakta sejarah mengungkapkan bahwa PKI telah melakukan aksi keji, bengis, kejam. Tak hanya itu, PKI juga berupaya beberapa kali mengganti ideologi negara dan menggulingkan pemerintah yang sah.
Aksi keji PKI bisa ditengok pada peristiwa Madiun pada September 1948. Ratusan orang dijagal dan dimasukkan ke dalam sumur tua yang ada di tengah perkebunan tebu di Magetan, Jawa Timur. Sumur tua itu kini jadi monumen tugu yang dipucuknya terpacak patung garuda terbang.
''Ya, persis di bawah tugu itulah dulu lubang pembantaian PKI 1948. Setelah jenazahnya diambil, sumur ditimbun kembali. Beberapa tahun setelah tragedi itu di situ kemudian didirikan monumen,'' kata Jumiran (57 tahun), warga Desa Rejosari,
Ketika ditanya siapa sebenarnya yang dulu "ditanam" di dalam lobang sumur itu, Pariyem mengaku tak tahu persis karena dia saat itu masih anak-anak. Hanya, orang tuanya memberitahu bahwa mereka yang dibunuh bukan berasal dari kampungnya. ''Mereka orang jauh. Kata orang tua, ada bupati, wedana, jaksa, kiai, haji, pegawai, dan lainnya. Untuk persisnya, lihat saja nama-nama yang ada di tembok monumen,'' ujarnya.
Beberapa nama ulama yang ada di monumen itu di antaranya tertulis KH Imam Shofwan. Dia pengasuh Pesantren Thoriqussu'ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan, ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan sempat mengumandangkan azan. Dua putra KH Imam Shofwan, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani, juga menjadi korban dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.
Selain itu, beberapa nama yang menjadi korban adalah keluarga Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) Takeran. Mereka adalah guru Hadi Addaba' dan Imam Faham dari Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran. Imam Faham adalah adik dari Muhammad Suhud, paman dari mantan mendiang ketua DPR M Kharis Suhud. Selain perwira militer, pejabat daerah, wartawan, politisi pun ikut menjadi korbannya.
Serang Pesantren
Masih lekat di ingatan Masdoeqi Moeslim peristiwa di Pondok Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, pada 13 Januari 1965. Kala itu, jarum jam baru menunjukkan pukul 04.30. Ia dan 127 peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia sedang asyik membaca Al-Quran dan bersiap untuk salat subuh. Tiba-tiba sekitar seribu anggota PKI membawa berbagai senjata datang menyerbu. Sebagian massa PKI masuk masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke karung. "Selanjutnya dilempar ke halaman masjid dan diinjak-injak," kata Masdoeqi seperti dikutip dari Tempo.
Para peserta pelatihan digiring dan dikumpulkan di depan masjid. "Saya melihat semua panitia diikat dan ditempeli senjata," tutur Masdoeqi, yang kala itu masuk kepanitiaan pelatihan.
Dia menyaksikan massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang ke luar rumah.
Selanjutnya, massa PKI mengikat dan menggiring 98 orang, termasuk Kiai Jauhari, ke markas kepolisian Kras dan menyerahkannya kepada polisi. Menurut Masdoeqi, di sepanjang perjalanan, sekelompok anggota PKI itu mencaci maki dan mengancam akan membunuh.
Mereka mengatakan ingin menuntut balas atas kematian kader PKI di Madiun dan Jombang yang tewas dibunuh anggota NU sebulan sebelumnya. Akhir 1964, memang terjadi pembunuhan atas sejumlah kader PKI di Madiun dan Jombang.
"Utang Jombang dan Madiun dibayar di sini saja," ujar Masdoeqi, menirukan teriakan salah satu anggota PKI yang menggiringnya.
Kejadian itu dikenal sebagai Tragedi Kanigoro pertama kalinya PKI melakukan penyerangan besar-besaran di Kediri. Sebelumnya, meski hubungan kelompok santri dan PKI tegang, tak pernah ada konflik terbuka.
Bunuh Kyai Tremas
Salah satu ulama atau kyai menjadi korban kebiadaban PKI adalah KH Hamid Dimyathi, pimpinan Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Peristiwa ini bermula saat 18 September 1948, PKI/Front Demokrasi Rakyat (FDR) melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia RI. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan PKI 1948 di Madiun.
Pemberontakan tersebut juga merembet ke Pacitan. Kala itu, Pacitan adalah salah satu yang masuk dalam kesatuan wilayah Karesidenan Madiun. Daerah lainnya adalah Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi.
Di Pacitan, terdapat Pondok Pesantren Tremas yang kala itu dipimpin KH Hamid Dimyathi. KH Hamid Dimyathi merupakan putra dari KH Dimyathi, dan cucu dari KH Abdullah. KH Abdullah merupakan salah satu anak dari pendiri Pesantren Tremas, KH Abdul Manan.
KH Hamid Dimyathi juga merupakan ketua Partai Masyumi di Kabupaten Pacitan. Pada 24 September 1948, Partai Masyumi mengeluarkan pernyataan mendukung pemerintah dan membantu menindas pemberontak PKI Muso dan FDR serta membasmi pemberontak dan pengkhianat negara.
Sebelum munculnya Pemberontakan PKI di Madiun, suasana kacau begitu terasa di Pacitan. Pondok Tremas pun termasuk salah satu sasaran tentara-tentara PKI yang mengganas, membabi buta dan menghancurkan apa saja yang mereka kehendaki. Keamanan Pondok Tremas semakin terancam.
Kondisi tersebut membuat KH Hamid Dimyathi yang juga ketua penghulu di Pacitan prihatin. Dia mencoba melakukan kontak dengan pemerintah pusat di Yogyakarta, untuk melaporkan kondisi Pacitan.
Lantaran laporan gagal disampaikan via telepon, KH Hamid Dimyathi memutuskan berangkat ke Yogyakata. Sebanyak 14 orang, ikut bersamanya. Di antara mereka adalah Djoko, Abu Naim, Yusuf, dan Qosim. Mereka adalah para kakak dan adik ipar KH Hamid Dimyathi. Ada juga Soimun.
Dengan berjalan kaki, mereka menyusuri jalan pintas. Agar tak diketahui PKI, mereka menyamar. Nahas, saat rombongan ini berhenti di sebuah warung di wilayah Pracimantoro (selatan Wonogiri), Jawa Tengah, penyamaran mereka terbongkar oleh gerombolan PKI yang telah menguasai daerah ini. Pracimantoro merupakan rute perjalanan yang harus ditempuh dari Pacitan menuju Yogyakarta.
Mereka ditangkap, disekap, dan disiksa di Baturetno, wilayah yang cukup tersembunyi di Wonogiri dan memiliki jalur yang cukup strategis karena dekat dengan Madiun dan Ponorogo.
Satu minggu kemudian, mereka dipindah ke Tirtomoyo, Wonogiri. Di daerah ini, KH Hamid Dimyathi dan rombongan dihabisi. Tak cuma itu, jasad mereka dimasukkan ke dalam satu lubang semacam sumur.
Satu orang yang ada dalam rombongan ini, Soimun, dibiarkan hidup. Soimun sengaja dibiarkan hidup karena PKI berharap peristiwa itu dikabarkan ke keluarga, dengan harapan umat Islam yang kontra PKI lebih merasa ketakutan.
Setelah situasi aman, pelacakan dilakukan berdasarkan petunjuk yang disampaikan Soimun. Kuburan massal di bekas sumur tua akhirnya ditemukan. Namun, ketika dilakukan evakuasi dari dalam lubang sumur tersebut ada 13 mayat yang kondisinya mengenaskan dan sangat sulit dikenali. Jenazah para syuhada ini lalu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Jurug Surakarta. * [Dbs/Syaf/voa-islam.com]