JAKARTA (voa-islam.com), Lembaga Infaq Dakwah Center (IDC) melakukan silaturahim dan studi program wakaf ke Badan Wakaf Indonesia (BWI), pada Selasa (10/10/2017) pagi di Gedung Bayt Qur’an, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur. Kunjungan tersebht dilakukan dalam rangka memaksimalkan program dakwah, pendidikan dan sosial.
Dalam kunjungan silaturahim tersebut, Direktur IDC Mulyadi Abdul Gani beserta relawan IDC diterima baik oleh Direktur Eksekutif BWI Drs. H. Achmad Djunaedi, MBA. Pertemuan berlangsung akrab, hangat dan terbuka. Banyak pencerahan yang didapat terkait wakaf dan segala persoalannya.
Terlebih dahulu, Direktur Eksekutif BWI Achmad Djunaedi memaparkan sejarah wakaf sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Ketika itu sahabat Umar bin Khatab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar menghadap Rasulullah meminta petunjuk, Umar berkata, “Ya Rasulullah, saya belum pernah mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?”
Rasulullah bersabda : Bila engkau suka, kau tahan tanah itu dan engkau sedekahkan hasilnya (manfaatnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak
diwariskan.”
Lalu, menurut Ibnu Umar, “ Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, dan Ibnu
Sabil. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola waqaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan maksud tidak menumpuk harta” (HR. Imam Bukhori)
Lebih lanjut, Achmad Djunaedi menjelaskan, saat ini wakaf telah diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 & PP No. 42 Tahun 2006. UU tentang wakaf seperti membangun “negara Islam”. Hanya saja, masih banyak orang Islam yang tidak berpikiran maju, sehingga belum bisa menangkap makna UU tersebut.
“UU Wakaf ini sudah 13 tahun. Boleh dibilang, kalian terlambat mendapat informasi tentang wakaf. BWI akan terus mensosialisiasikan wakaf kepada umat Islam, meski anggaran yang diberikan oleh pemerintah masih sedikit. Nah, jika UU itu dibaca secara baik, nanti baru ngeh betapa dahsyatnya potensi wakaf,” ungkap Djunaedi.
Perlu diketahui, wakaf itu terdiri dari wakaf benda bergerak (berupa uang) dan wakaf tidak bergerak (berupa tanah, masjid, kuburan, masjid, musholla, pesantren, hingga madrasah). Padahal wakaf itu aslinya semacam bisnis. Tahan tanahnya, lalu dikelola hasilnya untuk kepentingan umat Islam.
“Tapi, di Indonesia, potensi wakaf hanya sebatas kuburan, masjid, musholla, pesantren. Seharusnya wakaf bukan hanya diperuntukkan masjid saja, tapi juga usaha komersial lainnya, seperti poliklinik, foodcourt, sarana pendidikan, ruang yang disewakan untuk perusahaan atau bank. Jangan sampai tanah di tempat strategis dipinggir jalan malah diruislagh, dijual, dan jadi sengketa. Faktanya begitu. Tanah Wakaf pun ditabrak,” ujar Djunaedi.
Dalam perjalanannya, wakaf dikelola oleh nadzir (semacam direktur atau manajer). Tapi, sayangnya, lanjut Djunaedi, wakaf dilakukan oleh orang tua yang telah uzur, yang tidak bisa berbuat apa-apa. Harusnya wakaf dikelola oleh mereka yang muda-muda, cerdas dan berpikiran maju.
“Jika ada tanah wakaf, atau masjid tua dipinggir jalan, sebaiknya dipanggil arsitektur untuk membangun masjid yang lebih bagus dan berlantai, yang didalamnya bisa disewakan untuk kepentingan Islam. Untuk membangunnya, bisa dilakukan dengan rekayasa bisnis."
Selanjutnya akan dikembangkan wakaf produktif. Saat ini Wakaf di Indonesia ada 438.000 atau setara dengan 4 mliyar meter persegi.”
Lebih jauh Djunaedi menjelaskan tentang wakaf uang. Menurutnya, Wakaf Uang beda dengan infaq dan sedekah. Nah, untuk bisa mengelola wakaf uang, harus mendaftar lebih dulu ke BWI, lalu menjadi nadzir wakaf uang. Setelah mendapat SK, dibimbing, barulah kemudian bisa mengelola wakaf uang. “Kalau mengelola dana umat harus ada pertanggungjawabannya,” tandas Djunaedi.
Ketika ditanya apakah pewakif boleh mendapatkan bagi hasil dari tanah yang telah diwakafkan? Djunaedi menjelaskan, “Tidak bisa. Apa yang sudah diwakafkan telah terputus. Tidak ada istilah bagi hasil. Kalau ada pewakif yang minta bagi hasil, itu melanggar UU.”
Djunaedi juga menegaskan, masjid yang dikembangkan pembangunannya untuk usaha komersial lain, jangan dianggap menggusur keberadaan masjid.
“Justru masjid itu diperbagus, ruangnya diperbesar dan ber-AC. Tidak benar jika menghilangkan masjid yang telah ada. Seperti diketahui, lama-lama negara dikuasai kaum kapitalis. Karena itu harus diantisipasi, agar tidak tergerus oleh zaman.” (des/bilal/voa-islam)