Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, langkah penertiban kepada para ustad ini sebagai tindak lanjut dari keluhan masyarakat soal banyaknya penceramah yang mengedepankan praktik guyon ketimbang isi ceramahnya.
"Pemerintah diminta lebih proaktif untuk menata penceramah mubalig, dai, yang terkadang dalam ceramahnya itu mungkin lebih banyak guyonnya," kata Lukman, beberapa waktu yang lalu sela-sela kunjungan kerjanya di Bogor.
Menurut Menteri asal PPP itu, banyak masyarakat yang risih dan menganggap ceramah bercampur guyon itu kurang pantas. Bahkan, tidak sedikit yang menyampaikan isi ceramah bukan pada forum majelis taklim atau forum keagamaan.
Karena itu, kata Lukman, Kemenag akan menyusun kode etik bagi para penceramah. Dengan panduan itu, nantinya akan menjadi prinsip yang dipegang seorang penceramah atau ustad untuk menjaga integritas dakwah.
"Agar dakwah Islam senantiasa tidak disampaikan oleh pihak yang bukan pada tempatnya. Ini akan kami terus rumuskan," ungkapnya seperti dikutip dari rmol.
Dengan adanya kode etik siaran dakwah itu, kata Lukman, Kemenag berupaya untuk membatasi penyampaian yang tidak perlu dalam suatu cermah yang disampaikan, sehingga masyarakat tidak menjadi gaduh.
"Kemudian ada kebutuhan di antara para penceramah para dai itu ada kode etik, ada hal-hal yang secara prinsipil dipegangi sebagai sesuatu yang sesungguhnya dalam rangka untuk menjaga integritas dari mubaligh, dai itu sendiri," ucap dia.
Selain itu, alasan dirumuskannya kode etik siaran dakwah ini agar isi dari cermah yang disampaikan para dai tidak keluar dari maknanya. "Terkadang dalam ceramahnya itu mungkin lebih banyak guyonnya," katannya.
Namun, langkah Menteri Agama itu pun menuai pro kontra. Salah satunya dati Ketua Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda Ansor Cabang Kabupaten Bogor KH Abdullah Nawawi.
Nawawi mempertanyakan terkait rencana tersebut. Sebab, perlu dipikirkan juga jika ceramah serius tanpa guyonan, jamaah bisa tertidur mendengarkannya atau bosan.
"Tidak apa-apa mau seperti itu. Tapi pikirkan juga hal lainnya. Sepanjang guyonan tidak keluar etika agama dan menghina seseorang seharusnya tidak apa-apa," katanya.
Menurutnya, masih banyak yang harus dibereskan selain merumuskan kode etik bagi para penceramah yang menggunakan metode guyonan. Yakni terkait mabuk-mabukan, kejahatan hingga Tempat Hiburan Malam (THM) yang masih ada hingga kini.
"Kalau kita disuruh serius bisa, guyon, juga bisa. Tapi ingat, kita tidak boleh menghina tapi bina," ucapnya.
Ia juga menambahkan, yang namanya hidup itu tentu siapa pun itu orangnya harus bisa menjadi pelaku kebaikan, membawa berita bahagia, mengingatkan, membawa ke jalan Allah serta harus memberikan pencerahan dan menerangkan. Sehingga dasar itulah yang harus diterapkan dan diingatkan kepada sesama umat muslim.
"Itu yang harus dilakukan oleh siapa pun, mau itu masyarakat kecil hingga pejabat," ujarnya.
Sebelumnya, Dirjen Penerangan Agama Islam, Khoiruddin juga menjelaskan, bahwa dengan adanya kode etik tersebut pihaknya berharap ceramah agama bisa disampaikan dengan santun, baik di radio, televisi maupun di Internet.
"Harapan kami dengan adanya kode etik ini ceramah agama atau penyiaran agama yang dilakukan di media elektronik ini bisa dilakukan dengan santun, dengan benar, dan yang paling pentingbersumber dari Alquran dan hadis Rasulullah SAW," ujarnya. [syahid/voa-islam.com]