JAKARTA (voa-islam.com), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR) menyelenggarakan Media Briefing “Melawan Ekstrimisme Kekerasan di Inggris dan Relevansinya bagi Indonesia” pada 8 November 2017.
LIPI menyoroti peristiwa kekerasan yang dianggap berbasis keagamaan di berbagai negara belahan dunia. Salah satu contohnya adalah di Inggris, negara sejak 2001 telah merilis sejumlah kebijakan untuk meredamnya. Pada 2006, Inggris mengumumkan Contest, sebuah strategi anti-terorisme dan anti-radikalisme yang memayungi empat program, antara lain Pursue, Prevent, Protect, dan Prepare. Apa yang terjadi di Inggris dan bagaimana mereka menghadapinya dinilai LIPI sangat relevan dengan Indonesia saat ini.
Sejak peristiwa 7 Juli 2005, Inggris sudah berkali-kali dilanda aksi serangan kekerasan. Belakangan frekuensinya malah makin sering. Dalam beberapa bulan terakhir tahun ini saja, setidaknya sudah terjadi empat kali. Terakhir adalah serangan bom jibaku Salman Abedi di sebuah konser musik di Manchaster dengan korban 22 orang meninggal.
Menurut Amin Mudzakkir, peneliti P2SDR LIPI pada 2015, pemerintah Inggris kemudian mengajukan sebuah rancangan undang-undang anti-ekstremisme baru untuk menjerat kelompok-kelompok yang sebelumnya lolos dari ancaman pembubaran, seperti Hizbut Tahrir Inggris yang hingga sekarang masih beroperasi secara legal.
“Memang akar masalahnya adalah paradigma kebijakan kewarganegaraan sebelumnya, paradigma multikulturalis yang awalnya dianggap akan mampu mengintegrasikan komunitas-komunitas berlatar belakang imigran dengan masyarakat setempat ternyata gagal menjalankan misinya,” ungkap Amin.
Dalam kenyataannya, Amin melanjutkan, yang terjadi justru separasi, tidak ada interaksi dan komunikasi antara kelompok-kelompok sosio-kultural yang berbeda, akibatnya muncul prasangka dari kedua belah pihak. “Dari sini Islamisme dan ultra-nasionalisme muncul, keduanya adalah ideologi radikal yang memberi legitimasi bagi ekstremisme kekerasan,” klaim Amin.
Oleh karena itu, pemerintah Inggris diminta untuk mengubah paradigma kebijakan kewarganegaraannya agar lebih berbasis pada individu daripada kelompok. Dalam konteks komunitas Muslim, pemerintah-khususnya ditingkat lokal-diharapkan lebih sering berhubungan dengan mereka sebagai warga daripada hanya mengandalkan representasi elitnya. “Tanpa mengubah paradigma ini, strategi anti-terorisme dan anti-radikalisme tidak akan berjalan efektif, Salman Abaedi yang melakukan aksi bom bunuh diri di Manchaster adalah peserta program Prevent, tetapi ternyata dia tetap saja terlibat dalam kegiatan terorisme,” jelas Amin.
Dalam konteks Indonesia, katanya lagi, negara ini bisa berkaca dari kejadian dan penanganan ekstrimisme di Inggris. Dari sini, Indonesia dalam hal ini adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga diminta agar lebih aktif lagi melakukan kegiatan deradikalisasi di kalangan masyarakat yang rentan terkena ajakan kelompok radikal.
Lalu, penerbitan Perppu No. 2/2017 tentang organisasi kemasyarakat yang baru saja disahkan menjadi undang-undang oleh DPR, menurutnya patut diapresiasi, tetapi harus ada langkah nyata untuk merealisasikannya. “Ideologi-ideologi yang melegitimasi ekstremisme kekerasan, bagaimanapun, harus diatasi. Jika tidak, masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia berada dalam ancaman nyata,” pungkas Amin. (bilal/voa-islam)