JAKARTA (voa-islam.com), Ketua Komite III DPD Fahira Idris menegaskan, bahwa gerakan untuk mengawal dan memastikan RUU KUHP memperluas pidana perzinahan harus menjadi agenda besar umat beragama di Indonesia pada tahun 2018 ini.
Alasannya karena, setelah kandas di Mahkamah Konstitusi (MK), perjuangan melawan segala macam bentuk perzinahan, kumpul kebo, pencabulan, dan kekerasan seksual harus terus berlanjut.
Kali ini ‘medan perjuangan’ beralih ke lembaga pembuat Undang-Undang (UU) yaitu DPR dan Pemerintah yang saat ini hampir rampung membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai pengganti UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang sudah tidak relevan lagi karena merupakan peninggalan penjajahan Belanda sehingga banyak mengabaikan norma agama dan nilai-nilai masyarakat Indonesia.
Sudah saatnya, imbuh Fahira, larangan zina diberlakukan merata tidak hanya bagi mereka yang sudah terikat perkawinan, tetapi juga untuk mereka yang belum terikat perkawinan serta bagi mereka yang melakukan hubungan intim sesama jenis.
"Gerakan ini juga sebagai wujud menjalankan perintah agama yang mengharamkan perzinahan dan LGBT,"jelas Fahira dalam keterangannya, beberapa waktu lalu (3/1/2018).
Menurut Fahira, membatasi pidana perzinahan hanya bagi mereka yang sudah terikat perkawinan, sama saja artinya negara mendukung seks bebas dan melegalkan hubungan intim sesama jenis. Fahira juga menegaskan bahwa perluasan kategori hubungan intim sesama jenis sebagai bentuk perzinahan bukan sengaja untuk memidanakan kalangan LGBT, tetapi sebagai bentuk keadilan bahwa hukum berlaku sama bagi siapa saja.
“Mereka (LGBT) hanya akan dipidana jika melakukan hubungan intim atau memperkosa sesama jenis. Jadi jika ada anggapan perluasan ini akan mengkriminalkan LGBT, sangat tidak berdasar, karena siapa saja yang melalukan perzinahan akan kena sanksi pidana. Ini bentuk keadilan. Jangan karena mereka suka sesama jenis, mereka bebas berzinah karena hukum tidak mengatur. Sementara perzinahan yang berbeda jenis kelamin dipidana. Ini tidak adil. Kita juga harus pastikan ini bukan delik aduan, jadi penegak hukum bisa langsung memproses tanpa menunggu aduan,” ujar Fahira Idris, di Jakarta (3/1).
Fahira berpendapat, isu lain yang juga harus dikawal dalam proses pembahasan RUU KUHP ini adalah memastikan bahwa perkosaan hendaknya ditujukan baik kepada pelaku maupun korbannya yang berasal dari laki laki maupun perempuan. Selain itu, dalam UU KUHP nantinya, larangan cabul sesama jenis hendaknya ditujukan baik dilakukan oleh sesama orang dewasa, oleh orang dewasa dengan anak, maupun dilakukan oleh sesama anak. Tentunya hal yang berkaitan dengan anak mengedepankan aspek perlindungan anak dan sesuai dengan undang-undang perlindungan anak yang sudah ada.
Kepastian hukum larangan perzinaan, hukuman tegas kepada pelaku perkosaan, dan larangan hubungan homoseksual akan memiliki efek pencegahan dan menjadi acuan untuk tidak melakukan perilaku seksual menyimpang.
“Jadi point-nya di pencegahan agar tidak terjadi kekerasan seksual, perzinahan, hubungan intim sesama jenis, karena hukum melarangnya, bukan kriminalisasi. Saya berharap semua elemen bergerak mengawasi pembahasan RUU KUHP ini, memusatkan perhatiannya tidak hanya kepada DPR, tetapi juga kepada Pemerintah. Jangan sampai kita kecolongan,” pungkas Ketua Umum Ormas Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar) ini. (bilal/voa-islam)