JAKARTA (voa-islam.com), Direktur Pusat Pendidikan Hak Asasi Manusia (Pusdikham) Uhamka, Maneger Nasution meminta pemerintah dan DPR berani menghadapi intervensi asing dalam penggodokan RUU KUHP.
"Pemerintah Indonesia dan DPR RI kembali kembali mendapat ujian keberanian membela kedaulatan hukum nasional. Kali ini adalah ujian keberanian menghadapi "tamu" dari Komisi Tinggi HAM PBB dan 21 Dubes Uni Eropa," ,"kata Maneger dalam keterangannya, Jakarta, Jumat (9/2/2018).
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo menerima kedatangan Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (6/2/2018). Dalam pertemuan itu, Komisi Tinggi HAM PBB sempat menyinggung mengenai berbagai persoalan HAM di Indonesia, termasuk soal kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Komisi Tinggi HAM PBB dan 21 Dubes Uni Eropa juga "bertamu" ke Panja RUU KUHP. Mereka menyoal perluasan makna pasal perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan.
Pertanyaan publiknya, kata Maneger, apa maksud dan tujuan mereka bertandang ke Presiden dan di Panja RUU KUHP DPR RI?
"Tentu saja kehadiran mereka membuat banyak kalangan mengambil kesimpulan, bahwa bangsa besar seperti Indonesia masih saja mendapatkan tekanan dari berbagai kekuatan global hanya karena ingin merdeka menunjukan jatidiri dan kedaulatan hukum nasionalnya sendiri,"jelas Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah itu.
Menurut Maneger, konsistensi dan keberanian pemerintah mengambil tanggung jawab membela kedaulatan hukum nasional melawan intervensi asing dalam kasus RUU KUHP, kembali diuji.
Maneger menegaskan bahwa Komisi Tinggi HAM PBB dan 21 Dubes Uni Eropa, serta beberapa pejabat perwakilan asing di Indonesia, terang benderang menghina dan coba mengintervensi kedaulatan hukum nasional Indonesia. "Namun, demi kedaulatan hukum dan martabat bangsa, mari kita dukung Presiden dan DPR RI tidak boleh bertekuk lutut dengan intervensi asing itu. Indonesia punya kedaulatan mengatur hukum nasionalnya sesuai dengan nilai-nilai nasional Indonesia, Pancasila dan UUDNRI tahun 1945,"ungkapnya.
Bagi Indonesia, lanjutnya, Pancasila itu sangat penting. Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama, merupakan core Pancasila. Ia menjiwai sila-sila lainnya, termasuk sila kedua, sila tentang HAM yang adil dan beradab. Indonesia memang bukan negara agama. Tetapi masyarakatnya adalah masyarakat beragama. Dengan demikian, tidak ada yang salah dengan keinginan Indonesia mengatur hukum nasionalnya sendiri, termasuk dalam konteks ini perluasan makna perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan.
"Sebab, keinginan perluasan makna terhadap beberapa isu itu harus dipahami sebagai bagian dari ikhtiar untuk memastikan terbangunnya hukum nasional berbasis keindonesiaan. Sebab, KUHP yang ada sekarang adalah warisan kolonial Belanda,"bebernya.
Maneger menjelaskan bahwa begitulah pentingnya arti sebuah kedaulatan hukum nasional. Dalam konteks kepentingan kedaulatan hukum nasional, Presiden dan DPR RI sebagai positive lagislator dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sejatinya mengambil tanggung jawab melawan intervensi asing terhadap kedaulatan hukum nasional.
"Keberanian dan konsistensi menolak intervensi asing itu pun harus dimaknai sebagai pesan bangsa Indonesia kepada dunia internasional bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia tak mau bertekuk lutut dengan intervensi asing,"katanya.
Ketegasan sikap itu merupakan pengejawantahan dari UUDNRI tahun 1945. Konstitusi Indonesia memerintahkan negara melindungi segenap warga negara dan tumpah darah Indonesia dari berbagai bentuk ancaman, termasuk ancaman intervensi kedaulatan hukum nasional.
"Dengan demikian, tidak satu pun negara lain yang boleh mengintervensi hukum nasional di Indonesia,"tuturnya.
Prinsip HAM Indonesia Berbeda dengan Barat
Maneger menilai Presiden dan DPR RI sejatinya memiliki kemampuan diplomasi memadai untuk menjelaskan kepada asing dan pihak dalam negeri soal RUU KUHP itu. Sampaikan ulang kepada mereka bahwa Indonesia punya kedaulatan hukum nasional sesuai nilai-nilai nasional keindonesiaan. Juga sudah sesuai dengan pengaturan HAM dalam konstitusi Indonesia.
"Kenapa? Karena konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan HAM. HAM dalam pasal 28A hingga 28I UUDNRI tahun 1945 dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci, yaitu pasal 28J, HAM seseorang dibatasi oleh HAM orang lain. Pandangan konstitusi itu diteruskan oleh UU Nomor 39 tahun 1939 tentang HAM, "ungkap mantan Komisioner Komnas HAM Periode 2012-2017 itu.
" Jelas bahwa intervensi asing itu, disadari atau tidak, sungguh-sungguh telah menyinggung perasaan nasionalisme publik Indonesia,"tambahnya.
Maneger mengatakan, adalah tidak pada tempatnya Komisi Tinggi HAM PBB, Dubes Uni Eropa, atau siapa pun mengintervensi kedaulatan hukum nasional termasuk soal RUU KUHP. Mereka harus menghormati kedaulatan hukum Indonesia. Selain itu, mereka pun harus memahami kepentingan nasional Indonesia.
"Apakah Presiden Jokowi dan DPR RI sebagai positive lagislator lulus ujian membela kedaulatan hukum Indonesia? Sejarah bangsa menunggu bukti," tandasnya. (bilal/voa-islam)