JAKARTA (voa-islam.com)- Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), kiai Cholil Nafis angkat suara terkait cadar. Atau setidaknya beliau bisa dikatakan merespon demikian sebab hebohnya cadar ingin dilarang di salah satu kampus, yang mirisnya dari kampus Islam.
Begini respon kiai Cholil, yang juga merupakan pengurus MUI Pusat. Ia tuliskan itu di akuj Twitter pribadi miliknya, Rabu (7/3/2018):
Cadar itu dalam bahasa Arabnya niqab atau burqu', yaitu yang menutupi wajah kecuali mata, sedangkan hijab adalah sesuatu yang menutup kepala dan seluruh badanya. Khumur adalah penutup kepala dan leher. Intinya adalah perangkat dari penutup aurat perempuan.
Ulama fikih dan tafsir sepakat bahwa menggunakan niqab/cadar bagi perempuan tak ada yang melarangnya, yang berbeda bahwa niqab itu ada yang mewajibkan ditutup sebagai aurat dan ada yang membolehkan dibuka karena bukan termasuk aurat wanita.
Secara teologis dasar dalil yang menimbulkan perbedaan adalah firman Allah surat An Nur: 31 : ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Kata "zinah/perhiasan" ini yg jadi pangkal perbedaan ulama.
Menurut Ibn Jabiir yang boleh tampak hanya baju dan wajah, All Auza'i hanya baju, wajah dan kedua telapak tangan, Ibnu Mas'ud seluruhnya kecuali bajunya. Ibnu Abbas hanya wajah dan kedua telapak tangannya. Imam Malik seluruh tubuh, wajah dan telapak tangannya aurat wanita.
Saya sepakat dengan fatwa Al Azhar bahwa wajah dan telapak tangan perempuan itu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Artinya, wajah dan telapak tangannya tak wajib ditutupi. dalilnya hadits asma' binti Abi Bakar dan aurat wanita saat shalat tak wajib tutup wajah
Jadi dalam ranah fikih khilafiyah boleh memilih dalil yang dianggap kuat untuk dipedomani. Namun tetap menghormati perbedaan pendapat yg dianggap kuat dan dirasa lebih maslahah oleh orang lain sehingga tidak tepat mencela apalagi melarangnya seperti di UINjogja.
Kalau radikalisme menjadi alasan pelarangan niqab/cadar tentu perlu dibuktikan hasil researchnya, kalau karena kesopanan di kampus, mana tak sopan dengan yang super ketat dan transparan. Pertanyaannya, mana letak kebhinnekaan kita? Mana letak nalar logik kampus Islam negeri Indonesia? (Robi/voa-islam.com)