View Full Version
Senin, 14 May 2018

Fatwa MUI Bolehkan Masjid Digunakan untuk Kepentingan Politik Keumatan

JAKARTA (voa-islam.com)—Pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke 6 di Banjarbaru, Kalimantan Selatan baru-baru ini menghasilkan beberapa fatwa aktual. Salah satu fatwanya yang dihasilkan soal politisasi agama yang tengah ramai menjadi bahan pembicaraan di masyarakat.

Asrorun Niam Sholeh, pimpinan sidang pleno Ijtima Ulama ke-6  mengatakan Islam merupakan ajaran syumuliyyah (universal) yang mengatur tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang mencakup masalah ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan.

“Karenanya, Islam menolak pandangan dan upaya yang memisahkan antara agama dan politik,” kata Asrorun Niam dalam keterangan tertulis yang diterima Voa Islam, Sabtu (12/5/2018).

Lebih lanjut Asrorun menjelaskan bahwa hubungan agama dan negara adalah hubungan yang saling melengkapi. Politik dan kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk  menjamin tegaknya syariat (hirasat al-din) dan terjaminnya urusan dunia (siyasat al-dunya).  Politik dalam Islam adalah sarana untuk menegakkan keadilan, sarana amar makruf nahy munkar, dan sarana untuk menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh.

“Agama dan simbol keagamaan tidak boleh hanya dijadikan kedok untuk menarik simpati dan pengaruh dari umat beragama serta untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan semata. Politik juga tidak boleh dipahami hanya sebagai sarana meraih kekuasaan tanpa memperhatikan etika dan moral keagamaan,” ungkap Asrorun.

Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jelas Asrorun, agama harus dijadikan sebagai sumber inspirasi dan kaedah penuntun, sehingga tidak terjadi benturan antara kerangka berpikir keagamaan dan kerangka berpikir kebangsaan. Penyelenggara negara tidak memanfaatkan agama sekadar untuk kepentingan tujuan meraih kekuasaan semata.

Terkait isu rumah ibadah (masjid) dijadikan sarana berpolitik, Ijtima Ulama membolehkan. Kesepakatan ulama menjelaskan bahwa masjid tidak hanya berfungsi untuk tempat melaksanakan ibadah mahdah saja.

“Ia (masjid) juga harus dijadikan sebagai sarana pendidikan dan dakwah Islam, termasuk masalah politik keumatan, bagaimana cara memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan agama, dan bagaimana mengembangkan ekonomi keumatan, bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta bagaimana mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” terang Asrorun.

Dalam prakteknya, arah tujuan politik praktis adalah memperoleh kekuasaan, sementara kekuasaan cenderung korup. Karenanya, praktek politik kekuasaan harus dipandu oleh norma-norma luhur keagamaan agar tidak menghalalkan segala cara. Aktifitas politik yang tidak dijiwai agama akan cenderung melakukan tindakan menyimpang dan menghalalkan segala cara.

“Islam tidak membenarkan praktek politik yang diwarnai oleh intrik, fitnah, dan adu domba untuk mencapai satu tujuan politik, apalagi dengan membawa dan memanipulasi agama, mengatasnamakan agama, dan/atau menggunakan symbol-simbol agama, menjadikan agama hanya sekedar dijadikan sebagai alat propaganda atau hanya untuk memengaruhi massa,” jelas Asrorun. * [Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version