JAKARTA (voa-islam.com), Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI) mengatakan bahwa kejadian rusuh napipidana terorisme di Mako Brimob dan Aksi Teror di Surabaya, menyisakan dampak politis.
Menurut PUSHAMI, peristiwa ini dimanfaatkan oleh pihak keamanan dan pemerintah untuk mempengaruhi kerangka kerja keamanan melalui keputusan politik instan yang tidak akuntabel.
"Dalam konteks ini, pemerintah sedang melakukan sekuritisasi, upaya mencegah aksi-aksi terorisme dijadikan bargaining politik untuk kepentingan kekuasaan,"kata Ketua Divisi Kebijakan Publik PUSHAMI, Jaka Setiawan kepada voa-islam, Jakarta, Jumat (18/5/2018).
Sementara, kata Jaka, sekuritisasi akan merusak tatanan dan menabrak prosedur-prosedur akuntabilitas sistem kebijakan publik yang sudah diperjuangkan sejak reformasi dalam demokrasi dan good governance.
"Apakah RUU terorisme dirasa memang perlu atau tidak? UU Terorisme yang sekarang sudah cukup brutal diimplementasikan, hal tersebut bisa dilihat dalam laporan Komnas HAM tahun 2010," ucapnya.
Dalam laporan itu, kata Jaka, modus yang dilakukan Densus 88 diantaranya menculik, penganiayaan & penyiksaan, Bantuan Hukum yang direkayasa, melakukan kegiatan intelijen dengan teror fisik dan non fisik, melakukan kekerasan di depan anak-anak, diskriminasi terhadap keluarga saat menjenguk dan terkait informasi keberadaan keluarga yang ditahan.
"Belum pernah ada evaluasi terkait penanggulangan terorisme dari dulu hingga sekarang. Jadi jangan dulu kita bicara perlu atau tidak, evaluasi dulu. Sekarang momentumnya, bisa dengan Pansus Terorisme," ujarnya.
Jaka mengatakan bahwa pemerintah jangan terbawa arus pemikiran untuk libatkan pihak sana dan sini. Ia melihat soal pelibatan sebenarnya adalah potret ketidakmampuan penegak hukum dan intelijen.
"Kalau tidak mampu pimpinan lembaga tersebut mundur saja, kewenangan yang luas sudah ada di dalam UU Teror yang ada, mulai dari masa penahanan yang lebih panjang, laporan intelijen sebagai bukti permulaan yang cukup,"jelasnya.
Bagi Indonesia, sambung Jaka, setelah 32 tahun bergumul dengan kekuasaan yang otoritarian, perumusan maupun penyelenggaraan kebijakan keamanan nasional atau kini populer dengan Rencana Komando Operasi Pasukan Khusus Gabungan (Koopsusgab), menjadi kekhawatiran tersendiri bagi upaya reformasi dan demokratisasi di Indonesia.
"Kekhawatiran tersebut terjadi akibat pengalaman pahit masa lalu yang menggunakan keamanan atau Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) sebagai justifikasi untuk melakukan kekerasan, penculikan, dan penghilangan hak-hak dasar bahkan nyawa seseorang,"katanya.
Jaka menegaskan bahwa menjadi amat wajar jika usulan tersebut menerima penolakan yang cukup kuat dari beberapa kalangan masyarakat. Tidak hanya pada masa lalu, pasca reformasi wacana serta regulasi yang menyangkut keamanan negara yang kerap mengorbankan kepentingan publik dan hak-hak masyarakat masih terus terjadi.
Misalnya saja, lanjut Jaka, operasi Densus 88 dalam menangkap terduga teroris. angka kekerasan, pembunuhan dan penggunaan senjata api tanpa standard operational prosedur (SOP) terhadap terduga teroris yang semakin meningkat.
Bahkan, imbuhnya, sampai hari ini tidak ada evaluasi terhadap SOP yang memberikan kewenangan kepada Densus 88 tersebut untuk melakukan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap terduga teroris.
Salah satu kasus yang cukup kontroversial adalah tewasnya Siyono dan Muhammad Jefri.
"Jangan sampai kewenangan ini disalahgunakan dan pada akhirnya merusak ruang kebebasan sipil dan politik masyarakat,"tandasnya. (bilal/voa-islam)