JAKARTA (voa-islam.com), Serangan bom di Surabaya pelakunya melibatkan anak-anak, kendati demikian Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menegaskan anak tersebut posisinya adalah korban.
"UU Perlindungan anak, lebih menjadikan anak yang masuk pusaran kekerasan sebagai korban," kata Kabid Pemenuhan Hak Anak LPAI Reza Indragiri Amriel dalam diskusi Newsmaker Forum bertema 'Mengurai Benang Kusut Terorisme' di RM Sederhana Jalan Juanda, Jakarta Pusat, Sabtu Sore (19/5/2018).
Menurut Reza, pasal 15 bunyi UU perlindungan Anak menjelaskan bahwa perlindungan hak anak bebas dari aksi kekerasan. Dan dengan itu bahwa anak-anak yang dilibatkan dalam aksi kekerasan dan anak tersebut berarti dirampas haknya.
"Salah satu hak anak adalah bebas dari situasi kekerasan dan pelibatan kekerasan, ketika anak terlibat kekerasan, kami memandang sang anak sedang dirampas haknya dan berposisi sebagai korban,"ujarnya.
Lebih dari itu, Reza mengungkapkan, anak menjadi korban dalam peristiwa terorisme bukan hanya yang terkena dampak serangan di lokasi, akan tetapi termasuk anak dari korban di lokasi dan anak terduga pelaku kekerasan itu sendiri.
"Kita abai dan lupa banyak anak yang menjadi korban, selamat dan luka-luka dari terduga teroris. Mudah-mudahan kita tidak lupa kasus Siyono. Anak dari terduga teroris yang juga harus dipikirkan,"katanya.
Reza melihat tidak pernah ada proses hukum terhadap terduga teroris yang ditembak mati, padahal, katanya lagi, sangat penting bagi pengembangan proses hukum.
Reza mengusulkan mekanisme Post Mortem Trial (Persidangan yang diselenggarakan ketika terdakwa meninggal dunia). Metode ini tidak diselenggarakan kepada semua kasus. Namun pada satu kasus, Contoh dimana di Post Mortem Trial yakni kasus Nazi Jerman dan orang ini sudah meninggal dunia dan sampai jatuh vonis. Atau persidangan model ini di Rusia terkait terdakwa kasus korupsi. .
"Proses hukum post mortem trial penting agar agar anak-anak, janda dan keluarganya bisa memastikan dan mengetahui status orang tua mereka terduga teroris atau tidak. Ini pentkng bagi kepastian hukum, sehingga keluarga tidak jadi korban stigma," katanya.
Namun ide Reza, menurut Koordinator Tim Pembela Muslim Ahmad Michan sulit direalisasikan di Indonesia. "Kita tahu, sistem hukum kita menganut pandangan pidana seseorang ditutup bila meninggal dunia,"katanya. (bil/voa-islam)