PADANG (voa-islam.com) - Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera Barat (MUI Sumbar) beserta MUI se-Kabupaten/Kota di Sumatera Barat menyatakan penolakan tegas terhadap konsep Islam Nusantara.
MUI Sumbar menyatakan Islam Nusantara tidak dibutuhkan di Ranah Minang.
“Kami MUI Sumbar dan MUI Kab/Kota se-Sumbar menyatakan tanpa ada keraguan bahwa : Islam Nusantara dalam konsep/pengertian/defenisi apapun tidak dibutuhkan di Ranah Minang (Sumatera Barat),” demikian bunyi pernyataan resmi MUI Sumbar, seperti dikutip langsung di akun Facebook Buya Gusrizal Gazahar (Ketum MUI Sumbar).
“Bagi kami, nama Islam telah sempurna dan tidak perlu ditambah-tambah lagi dengan embel-embel apapun,” tegas pernyataan tersebut.
Pernyataan tersebut diterbitkan berdasarkan Hasil Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) MUI Sumbar bersama MUI se-Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada 21 Juli 2018 di Kota Padang.
Ada 7 butir latar belakang alasan MUI se-Sumbar menolak Islam Nusantara yang merupakan hasil rakorda itu.
Berikut salinan hasil rakorda MUI se-Sumbar:
ISLAM NUSANTARA
(1) Istilah “Islam Nusantara” melahirkan berbagai permasalahan yang akan mengundang perdebatan yang tidak bermanfaat dan melalaikan umat Islam dari berbagai persoalan penting yang sedang dihadapi. Bahkan istilah “Islam Nusantara” bisa membawa kerancuan dan kebingungan di tengah umat dalam memahami Islam.
(2) Susunan bahasa Indonesia yang menganut konsep DM (Diterangkan-Menerangkan), menunjukkan pembatasan Islam dalam wilayah yang disebut “Nusantara”. Ini berakibat terjadinya pengerdilan dan penyempitan ruang lingkup Islam yang semestinya menjadi rahmat untuk seluruh alam semesta (rahmatan lil’alamiin) dan untuk seluruh umat manusia (kaaffatan linnaas).
(3) Jika yang dimaksudkan dengan istilah “Islam Nusantara” adalah keramahan washatiyah (proporsional dan pertengahan dalam keseimbangan dan keadilan), toleransi dan lainnya, itu bukanlah karakter khusus Islam di daerah tertentu tetapi adalah di antara mumayyizat (keistimewaan) ajaran Islam yang sangat mendasar. Karena itu, menghadirkan label “Nusantara” untuk Islam, hanya berpotensi mengkotak-kotak umat Islam dan memunculkan pandangan negatif umat kepada saudara-saudara muslim di wilayah ini.
(4) Wasathiyyah, samhah, ‘adil, ‘aqliy dan lainnya yang disebutkan sebagai karakter “Islam Nusantara”, hanyalah sebagian dan keistimewaan Islam yang tidak bisa dipisahkan dengan keistimewaan lainnya seperti rabbaniyyah ilahiyyah, syumuliyyah, dan lainnya. Mengapungkan satu-satu dari mumayyizat dengan memisahkan dari mumayyizat yang lain hanya akan menimbulkan kerancuan dalam memahami Islam dan mengeluarkan Islam dari kesempurnaannya.
(5) Jika “Islam Nusantara” dipahami dengan dakwah yang mengacu kepada ajaran dan pendekatan Wali Songo di pulau Jawa, ini bisa berdampak serius kepada keutuhan bangsa, karena di berbagai daerah dalam wilayah NKRI, ada para ulama dengan pendekatan ajaran yang bisa saja berbeda dengan Wali Songo. Memaksakan pendekatan dan ajaran Wali Songo ke seluruh Indonesia, berarti mengecilkan peran ulama yang menyebarkan Islam di daerah lain yang memiliki karakteristik dakwah yang beragam.
(6) Jika pendekatan kultural yang menjadi ciri khas “Islam Nusantara”, maka itu bukanlah monopoli “Islam Nusantara” tapi telah menjadi suatu karakter umum dakwah di berbagai wilayah dunia ini karena sikap Islam terhadap tradisi dan budaya tempatan, telah tertuang dalam kajian ilmu Ushul al-Fiqh secara terang. Bahkan para ulama Sumatera Barat dengan perjalanan panjang sejarah dakwah Islam di Ranah Minang yang diwarnai dengan dinamika yang begitu hebat, telah menjalani langkah-langkah pendekatan kultural tersebut bahkan mereka sampai kepada komitmen bersama melahirkan “Sumpah Sati Marapalam” dengan falsafahnya yang dipegang oleh masyarakat Minangkabau sampai hari ini yaitu: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato, Adat Mamakai”. Walaupun telah sampai pada titik kebersamaan tersebut namun tak seorang pun ulama Minangkabau menambah label Islam di Minang ini dengan “Islam Minang”.
(7) Jika dimaksudkan dengan “Islam Nusantara” adalah Islam yang toleran, tidak radikal kemudian memperhadapkan dengan kondisi Timur Tengah sekarang, maka sikap ini mengandung tuduhan terhadap ajaran Islam sebagai pemicu lahirnya sikap radikal dan tindakan kekerasan terhadap konflik Timur Tengah. Ini juga pencideraan terhadap ukhuwwah Islamiyyah antara kaum muslimin di dunia, kjarena perjuangamn yang dilakukan oleh sebagian kamum muslimin seperti Palestina, sangat tidak pantas dilabeli dengan radikalisme dan kekerasan. Seharusnya mereka mendapatkan simpati kita kaum muslimin di negeri ini sebagaimana mereka memperlakukan kita di saat perjuangan kemerdekaan Indonesia dahulunya.
Dengan berbagai alasan di atas yang merupakan sebagian kecil dari alasan yang telah dipertimbangkan oleh peserta Rakorda, maka kami MUI Sumbar dan MUI Kab/Kota se-Sumbar, menyatakan tanpa ada keraguan bahwa: “Islam Nusantara” dalam konsep, pengertian, defenisi apapun tidak dibutuhkan di Ranah Minang (Sumatera Barat). Bagi kami, nama Islam telah sempurna dan tidak perlu ditambah lagi dengan embel-embel apapun.
Padang, 21 Juli 2018/ 08 Zul Qaidah 1439
Pimpinan Rapat
Dr. Zulkarnaini, M. Ag (Ketua)
Dr. Zainal Azwar, M. Ag (Sekretaris)
Pimpinan Harian MUI Sumatera Barat
Buya Gusrizal Gazahar. Lc., MA (Ketua Umum)
Buya Zulfan, S.Hi, M.H (Sekretaris Umum).[fq/voa-islam.com]