View Full Version
Jum'at, 31 Aug 2018

Kaidah Fikih Darurat di Tengah Pro-Kontra Fatwa Vaksin

JAKARTA (voa-islam.com), Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal pembolehan penggunaan vaksin Measles Rubela (MR) karena alasan darurat, tidak serta merta diamini oleh seluruh umat Islam.

Banyak pihak mempersoalkan kategori darurat tersebut, sebab dianggap situasi belum benar-benar mencekik.

Salah seorang dai Wahdah Islamiyah (WI) yang aktif di Medis Sosial, Ustadz Maulana Laeda angkat bicara membela kategori darurat yang digelontorkan oleh MUI. Menurut Laeda, kategori darurat itu tidak mesti tercekik dulu, atau terjatuh dulu dalam kondisi yang akan mematikan.

"Tapi, bisa jadi kebutuhan umum yang urgen (al-haajah al-'aammah) dianggap sebagai kategori darurat bila suatu hal tidak diantisipasi akan menjerumuskan masyarakat pada kondisi parah atau mewabahnya penyakit secara meyakinkan,"jelasnya beberapa waktu lalu, (22/8/2018).

Di sinilah, lanjut Laeda, para ulama utamanya Al-Juwaini rahimahullah menetapkan kaedah "Al-Hajah Al-'Aammah tunazzal Manzilah Adh-Dharurah". Artinya, sesuatu yang apabila tidak diantisipasi sejak dini akan menimbulkan mudharat besar, maka ia dihukumi darurat.

"Silahkan pelajari pembahasan ini dalam kitab beliau "Al-Burhan" dan "Giyats Al-Umam". Yang tidak pernah belajar ushul fikih atau pembahasan "darurat", bagusnya diam saja," tandasnya.

Salah satu dai di media sosial, Amar Kamal juga tertarik membahas kaidah al-hajah tunazzal manzilah adh-dharurah. Amar menilai kaidah itu tidak serta merta wajib diterapkan.

Amar mengatakan bahwa Al-Hajah adalah apa saja yang dibutuhkan manusia meskipun ia masih bisa bertahan tanpanya. Adapun, adh-dharurah adalah suatu keadaan yang bisa membinasakan atau hampir membinasakan. Dan ia tidak bisa bertahan kecuali mengambil yang dibutuhkan saat itu.

"Dari sini saja kita bisa melihat bahwa penerapan kaidah Al-Hajah Tunazzal Manzilah Adh-Dharurah tidak seperti penerapan kaidah Adh-Dharurah Tubihu Al-Mahzhurat (Kondisi darurat membolehkan yang dilarang,red)," ujarnya.

Bagi Amar, al-hajah tunazzal manzilah adh-dharurah tujuannya untuk memberikan rukhshah (keringanan.red) pada suatu permasalahan yang membuat berat dan susah tanpa mengakibatkan hilangnya nyawa.

"Artinya, rukhsah ini boleh diambil, boleh juga ditinggalkan,"tuturnya.

Adapun Adh-Dharurah Tubihu Al-Mahzhurat, katanya lagi, tujuannya adalah memberikan rukhshah untuk melakukan suatu perkara yang haram demi menjaga Maqhashid Dharuriyah (tujuan kedaruratan,red) salah satunya adalah Hifzun Nafs (menjaga jiwa,red). Artinya, rukhsah ini wajib diambil demi menjaga diri dari kematian sesuai syarat yang berlaku.

"Tentunya penerapan kaidah al-hajah tunazzal manzilah adh-dharurah tidak boleh serampangan. Mentang-Mentang ada kebutuhan langsung berdalil dengan kaidah ini," katanya.

Amar menegaskan ada beberapa syarat yang harus diperhatikan, ketika hendak menerapkan kaidah ini agar tidak salah dalam menerapkannya.

1. Al-Hajah (kebutuhan) di sini mesti benar-benar dibutuhkan. Tidak berdasarkan praduga atau asumsi belaka.

2. Kebutuhan di sini baik berlaku umum untuk umat atau khusus secara pribadi.

3. Keharaman yang dilakukan untuk memenuhi hajah di sini adalah sesuatu yang haram lighairihi.

4. Larangan yang dilakukan untuk memenuhi hajah adalah bukan larangan yang terdapat nash khusus secara shorih dalam pengharamannya. (bil/voa-islam)


latestnews

View Full Version