JAKARTA (voa-islam.com), Pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid, menimbulkan pro-kontra terkait status fiqihnya. Ada yang menilai hal tersebut dibenarkan oleh fiqih, ada yang menilai tidak dibenarkan.
Terlepas dari hal tersebut, Lulusan pascasarjana Institute Ilmu Quran (IIQ) Jakarta, Ustadz Rudi Wahyudi menilai warga NU dalam interaksi dengan ayat-ayat Allah dan kalimat thayyibah terikat dengan 'Adab Nahdliyyin'.
Menurutnya, para guru dan kiyai mengajarkan secara ketat adab berinteraksi dengan al Quran seperti larangan meletakkan kitab al Quran secara sembaramgan.
"Ini yang kami pelajari dari guru-guru kami, kyai-kyai kami, dilarang meletakkan Al-Qur'an dibawah buku apa pun. Harus paling tinggi. Dilarang memangku Al-Qur'an sejajar "farj", pangku pakai tangan minimal sepusar. Dilarang membawa mushaf Al-Qur'an seperti membawa buku, angkat se dada, dan paling baik letakkan di atas kepala," kata Ustadz Rudi dalam status media sosialnya beberapa waktu lalu (22/10/2018).
Lebih dari itu, lanjutnya, dilarang membuat mihrab dengan ada lafal Allah-nya sejajar dengan kaki Khatib. Dilarang meletakkan kitab kuning di lantai, harus pakai lekar atau alas.
"Karena apa? Sebab dalam semua yang disebutkan ada lafal "Allah". al-Ismu yadullu ala al-Musamma. Nama menunjukkan siapa yang punya nama," terangnya.
Ustadz Rudi menegaskan bahwa orang yang membakar kalimat tahlil dengan amuk dan marah pasti bukan nahdliyyin. Ia berpendapat apalah arti baju, name tag, kartu nama, tanda anggota, siapa saja bisa pakai, itu mudah dibuat dan dibeli.
"Kualitas ke-nahdliyyin-an yang hakiki diukur dengan akhlak, mahabbah, amal, dan perbuatan, sebab dengan itu kita akan dikumpulkan bersama guru-guru kita. Kalau dengan mengaku, semua orang bisa mengaku,"ujarnya.
Ia meminta agar kasus tersebut jangan disamakan dengan perbuatan Sayyidina Utsman r.a, "Masak tidak bisa membedakan perbuatan orang marah dan benci dengan perbuatan penuh adab dan cinta?" terangnya.
Ia mengingatkan agar jangan berlindung dibalik dalih bahwa itu bendera fulan dan fulan. Karena, kalimat tahlil sudah menjadi properti publik.
"Dipakai siapa pun kita tetap harus menghormatinya, bahkan kita justru yang seharusnya paling memuliakannya,"tandasnya. (bil/voa-islam)