JAKARTA (voa-islam.com)--Umatan Wasathan telah menjadi pilihan gerakan Muhammadiyah. Pilihan itu bukan tanpa alasan, wasathiyah merupakan gerakan tengahan yang berorientasi pada pencerahan. Dalam umatan wasathan, perbedaan bukan berarti permusuhan yang menjadi halangan bagi upaya bersama membangun peradaban umat dan bangsa.
Pandangan tersebut mengemuka dalam Pengkajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menghadirkan nara sumber Prof. Dr. Dadang Kahmad, Ketua PP Muhammadiyah, dan Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah.
Pengkajian Ramadhan PP Muhammadiyah berlangsung dari 12-14 Mei 2019 bertempat di kampus Institute Teknologi Bisnis Ahmad Dahlan, Ciputat, Jakarta. Pengkajian bertema “Risalah Pencerahan dalam Kehidupan Keumatan dan Kebangsaan: Tinjauan Ekonomi,PolitikdanSosialBudaya".
Menurut Dadang Kahmad, membangun masyarakat tengahan telah dilakukan oleh Nabi Muhammad dengan piagam Madinah yang isinya 47 pasal. Di sana sudah terdapat prinsip wasathiyah. Dalam konteks kekinian di Indonesia, prinsip wasathiyah tercermin dalam pedoman Muhammadiyah.
Lebih lanjut Kahmad menyebut Piagam Madinah mengandung delapan karakter, karakter tauhid, persatuan, persaudaraan, persamaan, pengakuan kebinekaan, toleransi, demokrasi, dan HAM. Sikap toleransi dan moderat ditunjukkan oleh Nabi dengan mengakui keberadaan Yahudi dan menyantuninya asal tidak berbuat dholim dan jahat.
“Jadi, ada sistem sosial yang saling menopang, menjadi bangunan yang saling memperkuat, tidak saling memusuhi. Persoalan menyangkut kepentingan bersama diputuskan secara demokratis." demikian Dadang Kahmad.
Dalam hal toleransi, Abdul Mu’ti melihat indeks kerukunan antar umat beragama di Indonesia sudah sangat maju, yaitu di atas angka 70. Namun, fenomena sebaliknya terjadi, yaitu gejala intoleransi yang tinggi di internal umat beragama. Misalnya konflik antar kelompok di dalam Islam. “Umat Islam kalau konflik sangat terbuka," katanya.
Inilah tantangan yang dihadapi saat ini. Terdapat gejala di kalangan umat bergerak ke arah ekstrim, baik ke kanan maupun ke kiri. Ekstrim kanan beragama secara eksklusif dan menganggap orang diluar kelompoknya masuk neraka. Sementara ekstrim kiri, menganggap teks tidak penting. Terjadilah kontestasi, pemenangnya kelompok tengahan yang tegas dan toleran. Walaupun kelompok ini sering dianggap lembek. “Jadi ada realitas keumatan cenderung ekstrim bahkan radikal," jelas Mu’ti.
Mengapa pola gerakan seperti itu cenderung konfrontatif? Mu’ti melihat ada lima penyebab.
Pertama, adanya akumulasi kekecewaan dan eskalasi berbagai masalah yang pemerintah tidak aspiratif, dantidak protektif tehadap minoritas.
Kedua, aparat cenderung represif bahkan preemptif, termasuk dalam mengadili fikiran.Tokoh tertentu bergerak langsung ditersangkakan, dianggap makar.
Ketiga, parpol berbasis Islam kurang aspiratif terhadap umat. Menjadikanumat turun ke jalan, demo dengan simbol keagamaan.
Keempat,umat sering diperalat oleh elit. Jumlah dukungan massa dijadikan dukungan politik. Elit merasa mendapat dukungan besar dariumat yang diperalat.
Kelima, miskin strategi. Kalau dakwah selalu pendekatannya tradisional menggunakan mega phone, suara keras jamaahnya sedikit.
Persaingan antaraorganisasi islam yang sudah mapan seperti Muhammadiyah dan NU denganorganisasi yang baru bangkit sekarang ini, karena mereka tidak mau berorganisasi, tetapi bergerombol dan kemudian membuat organisasi baru, yang Abdul Mu’ti menyebutnya gerakan hibrida, yang memiliki ciri ustadz hibrida juga. Organisasi demikian rentan didomplengi orang politik.
“Gurunya tidak jelas, namun ganteng dan milenial, isinya tidak jelas," ujar Mu’ti.*[Ril/Syaf/voa-islam.com]