JAKARTA (voa-islam.com)—Sertifikasi halal di Indonesia dalam waktu dekat memasuki babak baru. Pada 17 Oktober 2019 mendatang, sesuai UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pemerintah mulai mewajibkan (mandatori) sertifikasi halal bagi setiap produk yang beredar di Indoenesia.
Mandatory sertifikasi halal ini tak hanya berlaku bagi produsen besar, tetapi juga untuk pelaku UMKM. Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim mengatakan pemberlakuan mandatori sertifikasi halal ini jangan sampai menjadi alat pembunuh UMKM.
Menurut Lukmanul, saat ini jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 36 juta. Angka yang cukup besar ini tentunya tak bisa dilakukan sertifikasi halal secara sekaligus. Belum lagi soal biaya yang harus dikeluarkan pelaku UMKM untuk mensertifikasi halal produk-produknya.
“UMKM itu ada 36 juta di Indonesia. Kalau saja 10 persen sudah disertifikasi, maka itu sangat kecil. 1,5 juta UMKM yang baru tersertifikasi. yang 34 juta berarti belum tersertifikasi. Ini yang saya bilang bakal ada chaos. Gonjang ganjing. Kalau tidak ada interpretasi antara instansi hukum (polisi, jaksa), maka 36 juta UMKM ini bakal jadi sasaran,” ungkap Lukmanul kepada wartawan di kawasan Jakarta Timur, Senin (27/5/2019).
Untuk itu, Lukmanul meminta kepada pemerintah harus segera dibuat interprestasi atas pemberlakukan mandatori sertifikasi halal ini. Jangan sampai instansi hukum satu dengan yang lainnya berbeda pemahaman, sehingga banyak UMKM yang kena sanksi.
“Produk – produk yang berada di Indonesia yang tidak bersertifikasi halal bisa kena sanksi seperti tukang nasi goreng, tukang bakso. 17 Oktober ini jangan sampai terjadi chaos, apalagi UMKM di Indonesia berjumlah kurang lebih 36 juta,” tegas dia.* [Syaf/voa-islam.com]